Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Thailand tumbuh pada laju tercepat dalam lebih dari setahun. Data resmi negara itu menunjukan, pertumbuhan ini didorong oleh kebangkitan pariwisata dan peningkatan konsumsi.
Dilansir dari Channel News Asia, Senin (21/11/2022) negara ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu memiliki pertumbuhan ekonomi 4,5 persen pada kuartal III 2022, menurut data dari Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional Thailand.
Ekonomi Thailand berada di jalur pemulihan yang stabil, dengan pertumbuhan di sektor pariwisata semakin cepat setelah negara itu mencabut semua pembatasan terkait Covid-19 awal tahun ini. Meski prospeknya dibayangi oleh risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan inflasi yang tinggi.
Advertisement
Pemerintah Thailand mengungkapkan bahwa ekonominya akan tumbuh 3,2 persen tahun ini, dibandingkan dengan kisaran perkiraan sebelumnya 2,7 persen.
Sementara untuk tahun 2023, ekonomi Thailand diprediksi tumbuh sekitar 3 persen hingga 4 persen. Tahun lalu, Thailand sempat mencatat pertumbuhan yang paling lambat di Asia Tenggara, hanya 1,5 persen.
"Pertumbuhan (2023) terutama akan didukung oleh pemulihan sektor pariwisata, perluasan investasi swasta dan publik, perluasan permintaan domestik yang berkelanjutan, dan pertumbuhan sektor pertanian yang menguntungkan," demikian keterangan badan perencanaan negara Thailand.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Thailand di kuartal ketiga juga sejalan dengan ekspektasi untuk kenaikan 4,5 persen dalam jajak pendapat dan menandai percepatan dari pertumbuhan 2,5 persen yang terlihat pada kuartal II 2022.
Pertumbuhan ini kemungkinan akan memperkuat ekspektasi untuk kenaikan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan Bank of Thailand 30 November mendatang, karena bank sentral negara itu berupaya menyeimbangkan antara penahanan inflasi tinggi sambil mendukung pemulihan.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal IV-2022 Bakal Melambat, Cuma 5,3 Persen
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 sebesar 5,72 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi dari capaian di kuartal II-2022 sebesar 5,44 persen (yoy).
Menanggapi itu, Wakil Ketua INDEF Tauhid Ahmad meminta pemerintah tidak terlena dengan tingginya pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung.
Di kuartal IV tahun ini, dia melihat ada potensi perlambatan ekonomi. Pertumbuhan di kuartal IV memiliki basis pertumbuhan yang sudah tinggi yakni 5,02 persen di tahun 2021 lalu.
Sementara pada kuartal I-III tahun ini memiliki basis yang rendah karena tahun lalu masih dihadapkan perlambatan ekonomi akibat pandemi.
"Di kuartal IV ini nanti best year effect sudah hilang karena kuartal IV-2021 pertumbuhannya sudah di atas 5 persen. Ini akan mengurangi pertumbuhan di kuartal IV tahun ini," kata Tauhid dalam konferensi pers: Waspada Perlambatan Ekonomi Akhir Tahun secara virtual, Jakarta, Selasa (8/11).
Lebih lanjut Tauhid menjelaskan, perlambatan ekonomi ini akan berdampak pada kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga. Sebenarnya, hal ini sudah mulai terasa sejak akhir September lalu seiring dengan meningkatnya inflasi.
"Tingkat inflasi ini terus berlanjut di bulan Oktober dan di November ini ada sedikit moderasi dan agak melambat," kata dia.
Dalam kondisi demikian, Taudi menyebut akan berdampak pada penurunan konsumsi masyarakat. Sehingga hal ini perlu diwaspadai pemerintah.
Advertisement
Ekonomi Tumbuh di Atas 5 Persen Sepanjang 2022, Indonesia Jangan Lengah!
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 sebesar 5,72 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi dari capaian di kuartal II-2022 sebesar 5,44 persen (yoy).
"Bila dibandingkan dengan tahun lalu, ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen (yoy)," kata Kepala BPS, Margo Yuwono dalam konferensi pers, Jakarta, Senin (7/11).
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan tingginya pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun ini terjadi karena perbandingan basis yang rendah (low base effect) dari tahun lalu.
"Pertumbuhan ekonomi terjadi karena low base effect atau basis yang rendah," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Senin (7/11).
Dia menjelaskan, tahun lalu pada kuartal III terjadi kenaikan kasus pasien positif Covid-19 hingga 26 ribu kasus. Tingginya kasus tersebut membuat pemerintah melakukan pembatasan kegiatan ekonomi dan sosial.
"Kuartal ke III tahun lalu terjadi gelombang kasus covid-19 dengan 26 ribu kasus, disusul pembatasan sosial ketat," kata dia.
Kondisi sebaliknya terjadi pada kuartal III tahun ini. Pemerintah telah banyak memberikan kelonggaran beraktivitas kepada masyarakat. Selain itu, pertumbuhan tahun ini juga didorong tingginya harga komoditas produk ekspor.
"Kemudian motor dari harga komoditas ikut sumbang net ekspor," kata dia.
Tak Boleh Lengah
Bhima menilai, dengan kondisi yang demikian, Indonesia tidak boleh lengah. Mengingat tahun depan akan ada banyak indikator yang menjegal pertumbuhan ekonomi nasional.
"Masalahnya indikator yang terkesan positif bisa berbalik arah di tahun depan," kata dia.
Beberapa indikator tersebut antara lain kenaikan tingkat inflasi, suku bunga pinjaman, tekanan biaya produksi manufaktur dan pelemahan kurs rupiah. Hal ini akan membuat suasana pemulihan ekonomi akan terasa berbeda dari tahun ini.
"Kondisi akan jauh berbeda dan pemerintah tidak bisa lengah," pungkasnya.
Advertisement