Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) pada Senin (30/1) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun ini.
Akan tetapi, badan internasional itu juga memperingatkan bahwa suku bunga yang tinggi dan perang Rusia-Ukraina kemungkinan masih akan membebani aktivitas ekonomi.
Mengutip CNBC International, Selasa (31/1/2023) dalam pembaruan proyeksinya, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh 2,9 persen tahun ini–yang mewakili peningkatan 0,2 poin persentase dari perkiraan sebelumnya di bulan Oktober.
Advertisement
Namun, angka tersebut berarti penurunan dari ekspansi 3,4 persen pada 2022. Selain itu, IMF juga menurunkan proyeksi ekonomi untuk 2024 menjadi 3,1 persen.
"Pertumbuhan akan tetap lemah menurut standar historis, karena perjuangan melawan inflasi dan perang Rusia-Ukraina membebani aktivitas," kata Pierre-Olivier Gourinchas, direktur departemen penelitian di IMF, dalam sebuah posting blog.Â
IMF menjelaskan, prospek ekonomi global menjadi lebih positif karena faktor domestik yang lebih baik dari perkiraan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat.
"Pertumbuhan ekonomi terbukti sangat tangguh pada kuartal ketiga tahun lalu, dengan pasar tenaga kerja yang kuat, konsumsi rumah tangga yang kuat dan investasi bisnis, serta adaptasi yang lebih baik dari perkiraan terhadap krisis energi di Eropa," beber Gourinchas, yang juga melihat bahwa tekanan inflasi menurun.
Namun, gambaran pada ekonomi global ke depan tidak sepenuhnya positif. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva memperingatkan awal bulan ini bahwa ekonomi memang tidak seburuk yang ditakuti beberapa orang tetapi belum berarti sudah membaik.
"Kita harus berhati-hati," ujar Georgieva dalam panel yang dimoderatori CNBC di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Saran IMF ke Bank Sentral di Seluruh Dunia
IMF juga memperingatkan beberapa faktor yang dapat memperburuk prospek ekonomi dalam beberapa bulan mendatang.
Hal ini salah satunya adalah kembali normalnya aktivitas ekonomi di China dapat terhenti, inflasi bisa tetap tinggi, juga perang Rusia-Ukraina yang berlarut-larut dapat mengguncang biaya energi dan pangan.
Penghitungan IMF mengungkapkan, sekitar 84 persen negara akan menghadapi inflasi yang lebih rendah tahun ini dibandingkan dengan tahun 2022, tetapi mereka masih memperkirakan tingkat rata-rata tahunan sebesar 6,6 persen pada tahun 2023 dan 4,3 persen pada tahun berikutnya.
Dengan demikian, lembaga yang berbasis di Washington, D.C. itu mengatakan salah satu prioritas kebijakan utama adalah agar bank sentral tetap menangani lonjakan harga konsumen.
"Komunikasi bank sentral yang jelas dan reaksi yang tepat terhadap pergeseran data akan membantu menjaga ekspektasi inflasi dan mengurangi tekanan upah dan harga," kata IMF dalam laporan terbarunya.
"Neraca bank sentral perlu dibuka dengan hati-hati, di tengah risiko likuiditas pasar," tambahnya.
Advertisement
IMF: Ekonomi Global Tak Seburuk yang Diramal, tapi Masih Rentan Krisis
Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva kembali mengingatkan bahwa perekonomian dunia masih berada di titik sulit, meskipun ada optimisme di antara para ekonom dan bisnis dengan melambatnya inflasi.
Hal itu disampaikan Georgieva saat menghadiri panel di World Economic Forum di Davos, Swiss pada Jumat (20/1).
Melansir CNN Business, Senin (23/1/2023) Georgieva mengakui bahwa kondisi ekonomi dunia sudah tidak seburuk dari yang dikhawatirkan beberapa bulan lalu, tetapi mengingatkan masih adanya risiko krisis lanjutan.
Dia mengatakan, dampak dari kenaikan suku bunga oleh negara ekonomi terbesar dunia "belum menekan," dan dapat meningkatkan pengangguran--situasi yang sulit ditanggapi oleh pemerintah yang kekurangan dana untuk ditanggapi secara memadai.
"Situasinya bisa sangat berbeda bagi konsumen yang mengalami (krisis) biaya hidup dan lapangan pekerjaan, daripada yang sudah mengalami (krisis) biaya hidup dan tidak memiliki pekerjaan," katanya.
Seperti diketahui, bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve masih berfokus untuk mencapai target inflasinya di 2 persen.
Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde pun menyatakan bahwa pihanya akan tetap esuai rencana dalam menaikkan biaya pinjaman untuk menurunkan inflasi ke target 2 persen bank sentral.
Selain itu, baik kepala IMF maupun ECB juga memperingatkan bahwa dibukanya kembali kegiatan ekonomi China setelah kebijakan nol-Covid-19 akan mendorong harga komoditas, termasuk minyak dan gas alam, karena permintaan diprediksi meningkat akhir tahun ini.
Jumlah LNG (gas alam cair) yang akan (China) beli dari seluruh dunia akan lebih tinggi dari yang kita lihat… akan ada lebih banyak tekanan inflasi yang muncul dari permintaan tambahan pada komoditas, dan khususnya energi, bebr Lagarde.
Hal itu dikhawatirkan bisa membebani pertumbuhan global, yang diperkirakan IMF pada Oktober 2022 akan merosot menjadi 2,7 persen tahun ini.
IMF Bilang Ekonomi Global Bisa Rugi hingga 7 Persen, Ini Penyebabnya!
Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan peringatan terkait risiko fragmentasi pada ekonomi global. Lembaga keuangan dunia ini, dalam catatan terbarunya mengingatkan bahwa fragmentasi yang parah setelah beberapa dekade peningkatan integrasi ekonomi dapat mengurangi hasil ekonomi global hingga 7 persen.
IMF juga menyebut, kerugian fragmentasi dapat mencapai 8-12 persen di beberapa negara, jika teknologi juga dipisahkan.
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (16/1/2023), Badan itu mengungkapkan, bahkan fragmentasi yang terbatas dapat memangkas 0,2 persen dari PDB global, tetapi diperlukan lebih banyak upaya untuk menilai perkiraan biaya sistem moneter internasional dan jaring pengaman keuangan global (GFSN).
Selain itu, arus barang dan modal global juga telah mendatar setelah krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, dan lonjakan pembatasan perdagangan yang terlihat di tahun-tahun berikutnya.
"Pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina semakin menguji hubungan internasional dan meningkatkan skeptisisme tentang manfaat globalisasi," tulis laporan IMF.
IMF melihat bahwa memperdalam hubungan perdagangan telah menghasilkan pengurangan besar dalam kemiskinan global selama bertahun-tahun, sekaligus menguntungkan konsumen berpenghasilan rendah di negara maju melalui harga yang lebih rendah.
"(Pengurangan hubungan perdagangan) akan berdampak paling buruk bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan konsumen yang kurang mampu di ekonomi maju," katanya.
Berkurangnya arus modal juga berisiko mengurangi investasi asing secara langsung, sementara penurunan kerjasama internasional akan menimbulkan risiko terhadap penyediaan barang publik global yang vital.
Advertisement