Potensi Perdagangan Karbon di Indonesia Capai Rp 4.625 triliun per Tahun

Kementerian ESDM sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon, di mana mulai 2023-2024, perdagangan karbon dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik secara mandatory.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Mar 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2023, 15:00 WIB
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)
Langkah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) dinilai sangat positif bagi perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) telah memiliki pos pendapatan baru dari hasil perdagangan karbon. Hal tersebut diungkap oleh Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Nelwin Aldriansyah.

“Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan bahwa operasional PGE telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGE berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE,” ujar Nelwin dalam pernyataan resminya, Selasa  (21/3/2023).

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus USD 300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp15.418 per US$) per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah resmi meluncurkanperdagangan karbon, di mana mulai 2023-2024, perdagangan karbon dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik secara mandatory.

Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.

Sejumlah strategi dan upaya monetisasi terus dilakukan PGEO untuk mengawal kinerja keuangan tetap solid dengan misalnya menjaga pendapatan, EBITDA margin maupun profit margin yang stabil hingga rasio utang yang terjaga.

 

Kinerja Pertamina Geothermal Energy

Pertamina Geothermal Energy (PGE) telah mengoperasikan enam PLTP dengan total kapasitas sebesar 672 Mega Watt (MW). (Dok Pertamina)
Pertamina Geothermal Energy (PGE) telah mengoperasikan enam PLTP dengan total kapasitas sebesar 672 Mega Watt (MW). (Dok Pertamina)

Pada kuartal III 2022, Pertamina Geothermal Energy membukukan laba bersih sebesar USD 111 juta, tumbuh 67,8 persen dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD 66 juta.

“Net profit margin pada sembilan bulan pertama 2022 mencapai 38,8 persen, dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang hanya 24 persen,” ujar Nelwin.

Adapun, pendapatan perseroan hingga September 2022 sebesar USD 287 juta, tumbuh 3,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD 277 juta.

Selain itu, perseroan juga berhasil mencatatkan EBITDA sebesar USD 244 juta hingga September 2022, naik 10,1 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD 221 juta.

“EBITDA margin PGE pada kuartal III 2022 mencapai 84,7 persen, naik cukup tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir yang berkisar di 80 persen,” jelas Nelwin.

Sementara itu, total utang PGEO (utang jangka pendek dan jangka panjang) juga terus menurun, dari USD 1,18 miliar pada 2019 menjadi USD 931 pada kuartal III 2022.

Adapun, rasio total debt terhadap EBITDA tercatat 4,6 kali pada 2019 dan turun menjadi 3 kali per September 2022, sedangkan net debt terhadap EBITDA turun menjadi 2,2 kali per September 2022, dari 4 kali pada 2019.

 

BUMN didorong

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)
Langkah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) dinilai sangat positif bagi perusahaan.

Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury juga telah berkali-kali mengatakan tengah mendorong BUMN untuk mulai melakukan perdagangan karbon, kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

Pahala menambahkan, ada banyak standar pemeringkatan dalam penilaian karbon. Namun, yang paling banyak dilakukan adalah standar nilai karbon yang diterapkan oleh Verra. Nilai carbon offset yang diperdagangkan nilainya sekitar USD 20-40. BUMN bisa melakukan uji coba dengan harga setengahnya sebagai acuan.

Nilai Ekonomi

Terkait nilai ekonomi karbon, Pahala menjelaskan, kemungkinan besar nilainya antara US$2-3. Nilai Ekonomi Karbon (NEK) adalah nilai yang diberikan terhadap setiap unit emisi karbon. NEK dianggap penting untuk diadakan karena dapat mendorong investasi hijau di Indonesia. Selain itu, NEK juga dapat mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim yang selama ini terjadi.

Pahala mengungkapkan, BUMN diminta untuk serius mulai melakukan transisi energi dengan berbagai cara seperti sinergi dan kolaborasi.

“Kita melihat kolaborasi antara BUMN sendiri untuk membangun kerja sama dalam menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN kita juga bisa kerja sama dengan negara lain. Pada intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” jelas Pahala.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya