Perubahan Iklim Perparah Polusi Udara, Jadi Penyebab Kematian ke-4 Terbesar Dunia

Secara global, pencemaran udara menjadi penyebab kematian keempat terbesar di dunia. Hal ini diperparah dengan adanya perubahan iklim dan pemanasan.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Okt 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2023, 16:30 WIB
Jakarta Juara Dunia Polusi Udara saat Diguyur Hujan Lebat
Di urutan kota dengan kualitas udara buruk berikutnya adalah Delhi (India) dengan nilai 154, Wuhan (China) 144, Lahore (Pakistan) 135, Shanghai (China) 133, dan Riyadh (Saudi) 131. Secara global, pencemaran udara menjadi penyebab kematian keempat terbesar di dunia. Hal ini diperparah dengan adanya perubahan iklim dan pemanasan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Secara global, pencemaran udara menjadi penyebab kematian keempat terbesar di dunia. Hal ini diperparah dengan adanya perubahan iklim dan pemanasan yang berpotensi meningkatkan alergen di masyarakat. Kondisi tersebut juga dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan alergi atopik seperti rinitis alergi (AR) dan asma.

Country Head Sanofi Sanofi Consumer Healthcare (CHC) Indonesia, Midha Mulyaningrum, menyebutkan Sanofi berkomitmen untuk terus berkontribusi bagi masyarakat dan lingkungan hidup dengan mengatasi pencemaran udara yang diakibatkan perubahan iklim.

Oleh karena itu, selain menghadirkan obat-obatan mandiri yang lebih baik lagi bagi individu dan komunitas, Sanofi CHC Indonesia juga berkolaborasi dengan LEVA melalui penanaman 1.000 pohon mangrove.

“Sanofi bekerja sama dengan LEVA pada hari ini untuk menanam 1.000 pohon mangrove guna membantu dalam mengurangi masalah pencemaran udara di Jakarta. Kegiatan ini menjadi aksi nyata sekaligus tindakan preventif dari kami untuk meminimalkan potensi risiko kesehatan bagi masyarakat,” kata Midha dikutip Minggu (15/10/2023).

Selain itu, CHC Indonesia yang merupakan afiliasi Sanofi, perusahaan bidang kesehatan diversifikasi global yang berpusat di Prancis, bekerja sama dengan komunitas Lestari Mangrove and Nature (LEVA) menanam 1.000 bibit pohon mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Kegiatan ini diharapkan secara jangka panjang dapat mengurangi masalah kesehatan masyarakat akibat ketidaksetaraan kualitas udara, khususnya di Jakarta dan sekitarnya.

Kegiatan yang termasuk ke dalam rangkaian Purpose Day 2023, dengan tema ‘Fight Against The Inequality of Air Quality’ atau ‘Melawan Ketidaksetaraan Kualitas Udara' ini melibatkan 50 orang, termasuk karyawan Sanofi CHC Indonesia, tim LEVA, dan warga setempat.

 

 

Polusi Udara Jadi Masalah Serius

Polusi Udara Jakarta
Pemandangan gedung bertingkat yang diselimuti polusi udara di Jakarta, Kamis (31/8/2023). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Founder LEVA, Nathasi Fadhlin, menambahkan polusi udara merupakan permasalahan serius yang harus diselesaikan secara bersama-sama dengan mendorong kolaborasi lintas sektor.

Oleh sebab itu, Nathasi mengapresiasi aksi nyata Sanofi Consumer Healthcare Indonesia dalam mengurangi polusi udara di Jakarta sekaligus mendorong perbaikan lingkungan secara berkelanjutan melalui penanaman 1.000 pohon mangrove ini.

“Kami berharap aksi nyata yang dilakukan Sanofi Consumer Healthcare Indonesia turut menginspirasi para pemangku kepentingan lainnya untuk bergotong-royong mengatasi polusi udara dengan menanam pohon mangrove. Dengan terus menjaga keberlanjutan lingkungan maka akan menciptakan dampak positif bagi kualitas kesehatan masyarakat hingga ke generasi selanjutnya,” kata Nathasi.

Sebagai informasi, hutan mangrove dapat mengurangi tingkat erosi tanah, mengatur salinitas air, dan menjadi habitat bagi ekosistem laut. Adapun jenis mangrove yang ditanam dalam kegiatan ini adalah Rhizophora Stylosa, jenis mangrove pionir yang tumbuh di pantai Pulau Pramuka dengan menggunakan teknik tumpukan.

Tarif Transportasi Umum bagi Warga Luar Jakarta Naik, Kendaraan Pribadi Makin Merajalela

Macet
Suasana lalu lintas kendaraan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Gubernur Anies Baswedan menyampaikan sistem pembatasan kendaraan berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap menjadi salah satu rencana Pemprov DKI mengatasi polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Beberapa waktu lalu, beredar kabar tarif transportasi umum akan dinaikkan bagi warga luar Jakarta.

Menanggapi rencana tersebut, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai bahwa kebijakan ini kontra produktif, sebab pembedaan tarif berpotensi mendorong mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi.

“(Kenaikan tarif) Ini justru akan membuat Jakarta semakin padat kendaraan pribadi dari luar Jakarta,” kata Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, dalam penyataan tertulis pada Kamis (12/10/2023).

lKebijakan diskriminatif ini akan sulit diimplementasikan dan memiliki potensi terjadi chaos di lapangan, terutama antara petugas dan pengguna publik transport,” lanjutnya.

Agus menambahkan, jika alasan kenaikan tarif tersebut karena beban subsidi PSO untuk publik transport Jakarta (terutama TransJakarta) dirasa semakin memberatkan, maka sudah saatnya ada penyesuaian tarif secara umum.

“Sejak diluncurkan tahun 2004, TransJakarta belum sekalipun menyesuaikan tarif. Ini lebih fair (adil) bagi masyarakat konsumen, dibanding dengan pembedaan tarif,” pungkasnya.

Dilema Pekerja: Rumah Jauh dari Kantor, Minim Akses Transportasi Umum

Kemacetan di Jakarta
Usulan penerapan ganjil genap selama 24 jam dilontarkan sebagai upaya menekan polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyoroti terkait masih minimnya akses transportasi umum untuk hunian Perumahan.

Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan ruang untuk memperhatikan keberadaan angkutan umum di daerah, termasuk menyediakan fasilitas angkutan umum mendekati kawasan perumahan.

"Sekarang banyak kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses layanan transportasi umum," kata Djoko, Rabu (11/10/2023).

Menurutnya, masyarakat perkotaan pasti akan keberatan jika tarif ojek naik. Dilematis bagi pengemudi ojek, tarif tidak naik, pendapatan tidak akan bertambah. Tarif naik, penumpang berkeberatan dan berpengaruh penghasilan akan berkurang.

Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Hal seperti ini baru menyadarkan kita, karena masih minimnya fasilitas transportasi umum di Kawasan hunian.

"Masifnya pertumbuhan permukiman di pinggiran perkotaan belum diimbangi dengan layanan akses angkutan umum, sehingga masyarakat mengandalkan ojek daring ataupun kendaraan pribadi (roda dua maupun roda empat)," ujarnya.

Disisi lain, beban masyarakat, khususnya generasi muda, saat ini cukup berat dalam menjangkau hunian. Selain harus membeli rumah yang harganya semakin mahal, juga harus membeli kendaraan bermotor.

"Pasalnya, kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses transportasi," ujar Djoko.

 

Infografis Journal Langkah Pemerintah Atasi Polusi Udara di DKI Jakarta dan sekitarnya
Langkah Pemerintah Atasi Polusi Udara di DKI Jakarta dan sekitarnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya