Pemerintah Masih Andalkan Nikel Ketimbang LFP, Bahlil: Investasi Sudah Masuk

Upaya pengembangan baterai kendaraan listrik berbasis nikel sudah dimulai. Bahkan, sudah ada investasi yang mulai masuk untuk membangun pabriknya.

oleh Arief Rahman H diperbarui 01 Feb 2024, 10:45 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2024, 10:45 WIB
Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)
Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalian menegaskan, Pemerintah masih akan menggunakan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Alasannya, sejauh ini sudah ada investasi yang masuk untuk pengembangan itu.

Bahlil menyebut, baterai kendaraan listrik, Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) masih jadi pilihan ketimbang Lithium Ferro Phosphate (LFP). Dia menilai, kualitas LFP jauh lebih rendah dari nikel atau NMC tadi.

"Katanya bila bahwa kita akan bergeser dari bahan baku nikel ke LFP, itu keliru. Karena kualitas LFP itu ini tidak sebaik kualitas dari nikel. Ini penting agar tidak sesat kita berfikir," ungkap Bahlil dalam Trimegah Political and Economic Outlook 2024, di Jakarta, ditulis Kamis (1/2/2024).

Dia menegaskan, upaya pengembangan baterai kendaraan listrik berbasis nikel sudah dimulai. Bahkan, sudah ada investasi yang mulai masuk untuk membangun pabriknya.

Misalnya, perusahaan baterai kendaraan listrik asal China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited atau CATL yang disebut sudah mengucurkan investasi Rp 60 Triliun. Pengembangannya, kata Bahlil, mulai dari penambangan hingga daur ulang baterainya.

"CATL ini ada pabrik dari China, dan dia pemain terbesar di dunia. Investasinya dengan BUMN itu Rp 60 trilun dan mereka sudah chip-in uang masuknya dan sekarang sudah mulai bangun," ungkap Bahlil.

"Mulai dari hulu, dari mining, smelter, kemudian precursor, katoda, baterai sel, sampai dengan recycle-nya. Konsep ini pertama kali diterapkan di dunia, yaitu di Indonesia. Jadi bukan di negara lain," imbuhnya.

 

Perusahaan Lainnya

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengaku takut salah bicara di hadapan para investor saham Tanah Air.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengaku takut salah bicara di hadapan para investor saham Tanah Air. Pasalnya, apa yang disebutnya disebut bisa berpengaruh pada pergerakan harga saham, baik naik ataupun turun.

Kemudian, Bahlil mengungkap investasi yang datang dari perusahaan asal Korea Selatan, LG. Dia menyebut, nilai investasi untum industri baterai listrik RI mencapao Rp 180 triliun.

"Kalau CATL dia masuk dari hulu ke hilir, kalau LG dia masuk dari hilir ke hulu. Sekarang pabriknya 10 giga pertama itu akan deresmikan bulan Februari besok. Dan itu adalah pabrik baterai pertama di Asia Tenggara," paparnya.

Selain dua perusahaan tadi, Bahlil mencatat ada sejumlah perusahaan kakap lainnya yang mengantre masuk ke Indonesia.

"Selain CATL, LG, itu ada VW, ada BASF ada Ford. Kita pikir Indonesia itu betul-betul mendapat nilai tambah lebih dari persoalan ini. karena kita pakai baterai mobil dari nikel, itu bahannya cuma empat, nikel, cobalt, mangan, dan lithium. 80 persen nikelz habis itu mangan, cobalt, dan lithiumnya kita masih impor. Ada dari Australia, ada dari Amerika Latin," pungkasnya.

 

LFP vs Nikel

Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)
Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)

Sebelumnya, baterai mobil listrik menjadi perhatian usai Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pekan lalu. Ada perdebatan antara baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan baterai berbasis nikel atau nickel-mangan-cathode (NMC).

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana mengungkap potensi dari kedua jenis baterai mobil listrik tersebut. Misalnya, LFP memiliki kekurangan dari sisi massa jenis atau densitas.

"LFP itu ada kekurangannya dibandingkan dengan NMC, jadi density dari energinya lebih rendah, jadi kalau dari skala 10 density energinya nikel, yang LFP itu density-nya 5," ujar Agus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/1/2024).

Secara sederhana, baterai LFP bakal memiliki ukuran yang lebih besar dan juga lebih berat. Dia mencontohkan, untuk baterai motor listrik misalnya, berat baterainya bisa 16-17 kilogram (kg).

"Motor aja gampang, (baterai) motor itu sekitar 10-11 kg yang NMC, kalau pakai LFP bisa 16-17 kilo. Karena density-nya itu lebih kecil sehingga perlu barangnya lebih besar," tuturnya.

 

Kendaraan Besar

Agus menerangkan, jika baterai LFP ini dipakai di mobil listrik yang notabene mahal, maka tidak akan cocok. Itu lebih cocok menggunakan baterai NMC. Sementara, LFP disebut lebih cocok untuk kendaraan besar seperti truk atau bus.

"Low end itu pasti LFP, coba tanya (Hyundai) ioniq, ioniq kan pake NMC," kata Agus.

"Sekarang bayangkan, kalau kamu pakai mobil yang mahal abis beratnya sama baterai, ya gak cocok. Jadi kalau barang mahal ya pakai baterai mahal aja, yang enteng jaraknya bisa jauh, sehingga LFP itu akan bagus untuk kendaraan-kendaraan yang truk, bus gitu karena dia kan gak tergantung sama berat segede apapun dia bawa kan, tapi kendaraan juga pakai itu untuk kendaraan yang low end," urainya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya