Pakar Hukum Lingkungan Pertanyakan Metode Hitung Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah

Pakar hukum lingkungan menyoroti taksiran kerugian negara dalam kasus korupsi komositas timah pada kurun waktu 2015-2022. Ini menyoroti kasus yang sedang ditangani oleh Kejasaan Agung (Kejagung).

oleh Arief Rahman H diperbarui 29 Feb 2024, 21:40 WIB
Diterbitkan 29 Feb 2024, 21:40 WIB
Grup MIND ID PT Timah
Ilustrasi timah

Liputan6.com, Jakarta Pakar hukum lingkungan menyoroti taksiran kerugian negara dalam kasus korupsi komositas timah pada kurun waktu 2015-2022. Ini menyoroti kasus yang sedang ditangani oleh Kejasaan Agung (Kejagung).

Diketahui, hitungan sementara yang dirilis Kejagung menunjukkan kerugian negara akibat dampak ekologis ditaksir mencapai Rp 271 triliun. Namun, Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) Andri Gunawa Wibisana mempertanyakan metode penghitungan yang digunakan.

Menurutnya, kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.

"Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dalam keterangan tertulis, Kamis (29/2/2024).

Andri mengatakan, untuk menghitung kerugian negara akibar kerusakan ekologi, perlu dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum. Selanjutnya, perlu diperhatikan metode penghitungannya, baik dari aspek kelaziman metode tersebut hingga bisa diuji secara ilmiah.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” tutur Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu.

Untuk menghitung kerugian ada konteks kasus tata niaga timah, perlu dilihat secata detail. Sederhananya, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/ APBD dan perekonomian negara.

“Yang pasti buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak a, b, c, d, salah satunya kerusakan lingkungan,” tegas Andri.

 

Harus Diaudit BPK

20151229-Gedung BPK RI-YR
Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai, dalam membuktikan kerugian negara atas satu kasus, perlu didasari pada audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK," kata Chairul.

Menurutnya, hingga saat ini belum ada landasan yang jelas untuk menentukan kerugian negara dalam bentuk kerugian ekologis. "Jadi belum ada dalil yang cukup kuat untuk mengkonstruksi secara demikian," pungkasnya.

 

Angka Kerugian

Uang Rupiah
Teller menunjukan mata uang rupiah di Jakarta, Senin (26/2/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) bekerja sama dengan ahli lingkungan untuk menghitung kerugian perekonomian negara yang disebabkan dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. Kerugian atas kerusakan lingkungan itu pun ditaksir mencapai Rp271 triliun.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Kuntadi menyampaikan, angka kerugian negara itu belum final lantaran proses penghitungan masih terus berlanjut.

"Penghitungan kerugian ekologis dan kerugian itu masih akan ditambah dengan kerugian negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya, nanti masih kita tunggu," tutur Kuntadi kepada wartawan, Selasa (20/2/2024

Ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengulas lewat penghitungan kerugian berdasarkan Permen LH No.7/2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Kerusakan dari kasus tersebut pun terdiri dari tiga jenis, antara lain kerugian ekologis mencapai Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.

Sementara itu, kerugian juga dapat dihitung dari total biaya kerusakan di kawasan hutan dan non-hutan, dengan rincian akibat galian tambang sebesar Rp223,3 triliun dan aktivitas tambang di kawasan non-hutan sebesar Rp47,7 triliun yang juga termasuk kerugian ekologis, ekonomi lingkungan, hingga biaya pemulihan.

"Totalnya kerugian kerusakan tadi sebesar Rp271.069.688.018.700," ungkap Bambang

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya