Liputan6.com, Jakarta Sampai dengan batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan, empat bulan setelah akhir tahun pajak, Wajib Pajak Badan yang telah menunaikan kewajiban lapor SPT-nya adalah sebanyak 1.044.911 Wajib Pajak Badan.
Jumlah Wajib Pajak Badan yang melaporkan SPT Tahunan PPh tersebut tumbuh 10,66% jika dibandingkan periode yang sama dengan tahun lalu.
Baca Juga
“Penyampaian SPT Tahunan yang dilaporkan Wajib Pajak Badan sebagian besar melalui sarana elektronik dengan rincian 28.059 SPT melalui e-filing, 934.860 SPT melalui e-form, dan 10 SPT melalui e-SPT. Sisanya sebanyak 81.982 SPT disampaikan secara manual ke Kantor Pelayanan Pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Senin (6/5/2024).
Advertisement
Sementara itu, secara agregat jumlah SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak telah mencapai 73,61% atau 14.186.630 SPT. Jumlah SPT Tahunan PPh tersebut tumbuh 7,15% jika dibandingkan periode yang sama dengan tahun lalu.
Meskipun tingkat kepatuhan tumbuh, Dwi menyebut DJP tetap harus berusaha agar target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan tahun 2024 dapat tercapai. Target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan tahun 2024 adalah sebesar 83,2% dari jumlah wajib SPT yang berjumlah 19,2 juta SPT.
Target tersebut berlaku hingga akhir tahun 2024. “Artinya jumlah Wajib Pajak yang harus lapor SPT Tahunan agar target terpenuhi adalah 16,09 juta SPT. Dengan dukungan semua pihak, kami yakin target tersebut dapat dicapai,” tegas Dwi.
Sebagai penutup, Dwi mengimbau agar Wajib Pajak yang belum lapor SPT agar segera melaporkannya SPT-nya. Dwi juga mengucapkan terima kasih kepada Wajib Pajak yang telah patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Penerimaan Pajak Capai Rp 393,91 Triliun per Maret, Masih Jauh dari Target 2024
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, penerimaan pajak mencapai Rp393,91 triliun hingga Maret 2024. Realisasi ini baru mencapai 19,81 persen dari keseluruhan target 2024.
"Untuk pajak totalnya Rp339,91 triliun sampai Maret 2024," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (26/4).
Sri Mulyani merinci penerimaan pajak disumbang oleh PPh non migas sebesar Rp220,42 triliun atau tumbuh 0,10 persen secara tahunan (year on year/yoy). Realisasi ini setara 20,73 persen dari target.
Di susul, PPN dan PPnBM mencapai Rp155,79 triliun atau tumbuh 2,57 persen secara tahunan. Realisasi ini setara 19,20 persen dari target.
Meski demikian, kinerja PPh Migas mengalami penurunan cukup dalam hingga 18,06 persen. Per Maret 2024, realisasi PPh Migas mencapai Rp14,53 triliun atau 19,02 persen dari target.
"Kita lihat turunnya PPh Migas ini karena dipengaruhi kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan Rupiah," ujar Sri Mulyani.
Terakhir, kinerja PBB dan Pajak lainnya menyumbangkan Rp3,17 triliun atau tumbuh 11,05 persen secara tahunan. Realisasi ini setara 8,93 persen dari target.
Advertisement
Pendapatan Negara Turun, Surplus APBN Indonesia Masih Lanjut?
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) surplus sebesar Rp8,1 triliun per Maret 2024. Posisi surplus APBN ini setara 0,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kita masih surplus Rp8,1 triliun atau 0,04 persen dari GDP," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (26/4).
Sri Mulyani menjelaskan, surplus APBN ini ditopang oleh penerimaan negara yang masih lebih tinggi dibandingkan belanja negara. Dia mencatat, pendapatan negara mencapai Rp 620,01 triliun atau 22,1 persen dari target.
Meski demikian, pendapatan negara tersebut mengalami kontraksi sebesar 4,1 persen persen secara tahunan (year on year/yoy)
"Diketahui bahwa tahun 2022-2023 gerak dari penerimaan negara itu sangat tinggi. Kita harus hati-hati," ujar Ani sapaan akrabnya.
Kemudian, dari sisi belanja mencapai Rp611,9 triliun atau sudah dibelanjakan sekitar 18,4 persen dari pagu APBN. Kinerja belanja negara ini membukukan pertumbuhan sebesar 18 persen secara tahunan.
"Ini berarti memang ada belanja-belanja yang cukup pro-growth, seperti penyelenggaraan pemilu," bebernya.
Dengan capaian ini, untuk keseimbangan primer mengalami surplus mencapai Rp122,1 triliun. Diketahui, keseimbangan primer merupakan total pendapatan negara dikurangi pengeluaran (belanja) negara, di luar pembayaran bunga utang. "Jadi, dari sisi keseimbangan primer mencatatkan Rp122,1 triliun," tutup Sri Mulyani.