Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memperkirakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) akan lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama.
Wamenkeu juga menyoroti kondisi ekonomi Indonesia yang tak pernah lepas dari konstelasi dunia salah satunya terkait suku bunga The Fed tersebut.
Baca Juga
"Sekarang AS di-drive oleh keinginan untuk mendapatkan stabilitas tetapi pertumbuhannya nggak mau turun atau kalau bisa stabil,” papar Suahasil pada acara Grab Business Forum 2024 di Grand Ballroom Kempinski, Senin (14/5/2024).
Advertisement
“Bentuk stabilitasnya adalah kalau bisa inflasinya turun tetapi pertumbuhannya tinggi, ini menjadi keinginan seluruh negara. Ternyata data terakhir Amerika inflasi tinggi bahkan di atas yang dipikirkan oleh berbagai pihak tapi draftnya tetap positif,” lanjutnya.
“Kebijakan di Amerika untuk menurunkan suku bunga sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” sambung Suahasil.
Hal inilah yang membuat dolar AS (AS) terus menguat, hingga berimbas ke nilai tukar rupiah seperti yang terlihat dalam beberapa pekan terakhir.
Kondisi Eropa
Selain AS, ekonomi Indonesia juga dipengaruhi dengan kondisi di Eropa, yang dalam beberapa waktu terakhir menghadapi ancaman resesi.
“(Tekanan di Eropa) akan membuat modal capital di dunia mencari tempat atau apakah akan wait and see. Indonesia pasti kena imbas,"bebernya.
Adapun dampak lainnya, yaitu dari pelemahan di China yang memiliki peran sebagai mitra dagang utama Indonesia.
Rupiah Melemah Hari Ini, Ternyata Gara-Gara AS
Sebelumnya, niilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Selasa ini. Pelemahan rupiah ini dipengaruhi sentimen suku bunga kebijakan Amerika Serikat (AS).
Pada Selasa (14/5/2024), Nilai tukar rupiah tergelincir 49 poin atau 0,31 persen menjadi 16.130 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.081 per dolar AS.
"Pernyataan beberapa pejabat Fed yang mendukung sikap higher-for-longer, termasuk Michelle Bowman dan Lorie Logan, meningkatkan sentimen risk-off di pasar keuangan domestik, sehingga mendorong rupiah melemah," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara.
Wakil Ketua Federal Reserve, Philip Jefferson, menyatakan bahwa bank sentral AS atau The Fed harus mempertahankan tingkat suku bunga saat ini lebih lama hingga ada bukti yang jelas bahwa inflasi AS bergerak menuju target 2 persen.
Lebih lanjut Josua mengatakan Surat Berharga Negara (SBN) diperdagangkan bervariasi meskipun rupiah melemah.
Advertisement
Obligasi
Volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat sebesar Rp13,41 trilliun pada Senin (13/5), lebih tinggi dibandingkan dengan volume perdagangan pada Jumat yang tercatat sebesar Rp10,44 trilliun.
Kepemilikan asing pada obligasi rupiah meningkat sebesar Rp2,49 triliun menjadi Rp798 triliun atau 13,85 persen dari total obligasi yang beredar pada 8 Mei 2024.
Pada Selasa, pemerintah akan mengadakan lelang obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp22 triliun. Seri yang dilelang pada lelang kali ini adalah SPN3mo, SPN12mo, FR0101, FR0100, FR0098, FR0097, dan FR0102.
Imbal hasil seri benchmark 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun masing-masing tercatat sebesar 6,95 persen, 6,99 persen, 7,01 persen, dan 6,97 persen.
Pada perdagangan hari ini, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 16.050 per dolar AS sampai dengan 16.150 per dolar AS karena investor cenderung menunggu rilis data inflasi AS besok.