Pemerintah Mau Bangun Pembangkit Nuklir, PLN Pilih Pembangkit Air dan Angin

ide pembangunan PLTN bukanlah wacana baru. Walaupun tak menutup kemungkinan untuk itu, PLN saat ini masih lebih memilih sumber pembangkit berbasis alam yang ramah lingkungan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 19 Jun 2024, 13:14 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2024, 13:14 WIB
PLTU Rembang
PLTU Rembang, Jawa Tengah sebagai salah satu pembangkit listrik yang sudah terdaftar pada aplikasi PLN Climate Click dan siap mendukung perdagangan karbon di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah buka kesempatan bagi sejumlah perusahaan asing asal Amerika Serikat hingga Jepang untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. 

Meskipun banyak potensi kerjasama, PT PLN (Persero) menilai Indonesia belum akan memulai inisiasi pembangunan pembangkit nuklir pada tahun ini atau dalam waktu dekat. 

Direktur Manajemen Pembangkitan PLN Adi Lumakso mengatakan, ide pembangunan PLTN bukanlah wacana baru. Walaupun tak menutup kemungkinan untuk itu, PLN saat ini masih lebih memilih sumber pembangkit berbasis alam yang ramah lingkungan. 

"Kita masih mengembangkan potensi renewable yang lainnya, air, angin, geotermal. Kita ke situ dulu. Nanti sebagai alat terakhir kalau memang itu (pembangkit nuklir) menjadi opsi yang bisa ditempuh, tapi itu pemerintah yang mutusin," ujarnya saat ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Adi menyatakan, PLN siap terlibat mengurusi nuklir jika sudah ada kebijakan dari pemerintah. Ia juga tidak memungkiri ada banyak potensi kerjasama dengan pihak asing dalam pembangunan PLTN.

Namun, ia tidak mau asal menjadikan nuklir sebagai sumber kelistrikan bagi masyarakat luas. "Karena nuklir ini kan juga harus kita mitigasi, pastikan bahwa itu salah satu pembangkit yang nantinya menjadi satu solusi," imbuhnya. 

"Cuman untuk masuk ke sana perlu kajian lebih mendalam lagi, dan itu pemerintah yang memutuskan. Kita PLN akan mengikuti apa yang digagas pemerintah," tegas Adi.

Kerja Sama dengan Rosatom

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di kantor Kementerian Perekonomian, di Jakarta, Rabu (29/5/2024). Menko Airlangga bercerita mengenai tambahan PSN baru salah satunya BSD. (Tira/Liputan6.com)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di kantor Kementerian Perekonomian, di Jakarta, Rabu (29/5/2024). Menko Airlangga bercerita mengenai tambahan PSN baru salah satunya BSD. (Tira/Liputan6.com)

Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengajak perusahaan terkemuka Rusia, JSC Rosatom bekerjasama dalam pengembangan energi nuklir di Indonesia.

Pengembangan energi nuklir untuk ketenagalistrikan terbatas pada keperluan non-energi seperti kesehatan dan pertanian. "Nuklir dapat menjadi salah satu opsi bagi ketersediaan listrik bagi masyarakat tanpa harus mengotori lingkungan," kata Airlangga beberapa waktu lalu. 

Menko Airlangga menyampaikan, saat ini Indonesia sedang fokus beberapa hal terkait isu energi bersih. Langkah ini sebagai bagian dari rencana besar transisi energi yang sedang diupayakan oleh Pemerintah RI.

"Rusia juga diundang untuk bekerjasama dalam pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Hal ini adalah wujud dari komitmen Pemerintah RI dalam rangka mewujudkan proses transisi energi yang telah dimulai beberapa tahun lalu," ujarnya.

Untuk diketahui, Indonesia akan memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Bangka Belitung pada 2032 mendatang.

Pembangkit tenaga nuklir pertama di Tanah Air tersebut dibangun oleh perusahaan listrik swasta asal Amerika Serikat, PT ThorCon Power Indonesia dengan kapasitas 500 MW.

 

Siapkan Teknologi dan SDM

 

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Prahoro Nurtjahjo, mengatakan Indonesia perlu menyiapkan teknologi dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) guna mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut.

Kementerian ESDM juga telah menjalani beberapa strategi secara internal maupun luar, termasuk melakukan beberapa diskusi dengan International Atomic Energy Agency (IAEA).

"Intinya kalau kita lihat, ini sesuatu yang baru bagi kita di Indonesia. Jadi kalau masalahnya bukan teknologi saja, tapi masalah sosial," ujar Prahoro.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya