Liputan6.com, Jakarta Keresahan terhadap impor tekstil ilegal sudah mencuat sejak lama. Kalangan pengusaha sudah menyampaikan adanya indikasi impor tekstil ilegal yang ditunjukkan dalam selisih data resmi ekspor impor tekstil.
Impor tekstil ilegal ini juga sudah menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo sejak 2015. Presiden sudah melihat maraknya impor ilegal sangat membahayakan industri dalam negeri.
Baca Juga
Presiden dalam Rapat Terbatas tentang Perdagangan dan Impor di Kantor Presiden, yang dikutip dari siaran pers Sekretariat Negara pada 12 Oktober 2015, menyampaikan terjadi laju penurunan produksi tekstil dalam negeri dari 30 hingga 60 persen.
Advertisement
Impor Ilegal Ganggu Pasar Dalam Negeri
Presiden saat itu sudah mengingatkan produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri.
Kepala Negara mengatakan sudah mendengar bahwa terdapat banyak modus impor ilegal, baik dalam penyelundupan bea masuk, PPH maupun PPN.
Maka Presiden pun menginstruksikan agar hal tersebut disikapi dengan serius terutama dengan melakukan reformasi menyeluruh pada tata kelola perijinan impor sehingga lebih terintegrasi serta berbasis Informasi Teknologi (IT). Presiden juga memerintahkan agar dilakukan peningkatan pengawasan terhadap pelabuhan-pelabuhan kecil untuk menghentikan penyelundupan.
Merespons hal tersebut, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) dalam berbagai kesempatan menyampaikan, data International Trade Centre (ITC) bahwa ekspor tekstil (HS 50-63) dari China ke Indonesia tahun lalu senilai USD 6,5 miliar sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor TPT dari China untuk HS yang sama dan periode yang sama hanya USD 3,55 miliar. Terdapat selisih hingga USD 2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak tercatat oleh pemerintah Indonesia melalui BPS.
Perbedaan data ini menunjukkan indikasi kuat adanya impor produk TPT yang tidak tercatat secara resmi di kepabeanan Indonesia. Dengan kata lain, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk impor tekstil ilegal bernilai puluhan triliun rupiah.
Selisih Data Impor
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja di depan Komisi VII DPR RI (10/7/2024), membenarkan adanya selisih data impor yang signifikan untuk pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) dan produk lainnya (HS 63).
Jemmy mengungkapkan ketimpangan yang terjadi antara data impor Indonesia dengan data laporan ekspor China menunjukkan tanda bahaya, di mana ketahanan industri tekstil nasional menjadi tidak terjaga, dan Indonesia mengalami kerugian yang serius.
Baru-baru ini, Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan gempuran impor tekstil illegal adalah alarm bahaya bagi industri tekstil dalam negeri termasuk di dalamnya usaha tekstil skala UKM.
KemenkopUKM mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada 2021 nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp58,1 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp28,4 triliun.
Ada potensi nilai yang tidak tercatat sebesar Rp29,7 triliun.Kemudian pada 2022, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp61,3 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp31,8 triliun. Potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp29,5 triliun.
Plt. Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, Temmy Setya Permana, mengatakan produk impor yang tidak tercatat itu membuat produk UMKM dalam negeri sulit bersaing. Produk tersebut masuk tanpa dikenakan bea masuk, sehingga bisa dijual dengan harga yang murah.
Advertisement
Kualitas Produk UMKM
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif KemenKopUKM Fiki Satari juga mengatakan produk UMKM secara kualitas produk UMKM saat ini sudah semakin banyak yang tak kalah dengan produk buatan luar negeri.
Namun sayangnya karena masifnya produk impor ilegal yang masuk ke pasar lokal, produk berkualitas yang diproduksi oleh UMKM menjadi kalah harga. Pelaku UMKM kelimpungan digempur dari darat, udara sampai di perbatasan-perbatasan.
Fiki mengatakan, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sudah mengingatkan bahaya ini sejak 2021. Produk asing ditransaksikan melalui e-commerce cross border bisa langsung masuk ke berbagai pelosok tanah air dengan harga yang murah.
Marketplace jadi Ancaman
Di lain pihak, pelaku UMKM juga sedang dihadapkan pada ancaman berupa aplikasi marketplace bernama Temu dari China. Aplikasi ini disebut-sebut lebih dahsyat dampaknya bagi UMKM karena bisa mematikan lantaran pabrik dari China bisa bertransaksi langsung dengan konsumen.
Untuk itu Fiki berharap Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta stakeholder terkait bersinergi mencegah masuknya marketplace Temu ke Indonesia. Hal ini diperlukan semata-mata demi melindungi pelaku usaha di dalam negeri khususnya UMKM.
Maka untuk memastikan UMKM tetap bertahan dari ancaman barang ilegal, Fiki berharap ada kesetaraan dan keadilan dalam menjalankan aktivitas usaha.
Importir harus dapat dipastikan patuh terhadap regulasi dengan membayar bea masuk barang impor. Adanya jaminan penegakan hukum serta aturan terkait impor, maka pelaku UMKM dalam negeri dipastikan dapat bersaing.
Advertisement