Tak Selalu Merugikan, Lubang Tambang juga Beri Manfaat Bagi Masyarakat

Lubang tambang akibat reklamasi tidak bisa hanya dianggap menjadi sebuah kerugian bagi masyarakat. Sebab, ada nilai tambah yang timbul akibat lubang galian tambang.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Nov 2024, 09:00 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2024, 09:00 WIB
Segmen 1: Tambang Timah Ilegal hingga Perajin Gula Merah Untung
Polres Bangka merazia penambang timah ilegal, hingga perajin gula merah justru menuai keuntungan saat kemarau.

Liputan6.com, Jakarta Lubang tambang akibat reklamasi tidak bisa hanya dianggap menjadi sebuah kerugian bagi masyarakat. Ahli Perhitungan Ekonomi Lingkungan Prof Sudarsono Soedomo mengungkapkan bahwa ada nilai tambah yang timbul akibat lubang galian tambang.

Fakta ini terungkap dari jalannya sidang kasus Timah, dimana penasihat hukum menanyakan dampak lubang galian tambang, baik dampak buruk maupun keuntungan yang juga timbul. Pasalnya dalam beberapa kasus, masyarakat area sekitar yang justru meminta galian tambang tetap ada karena menyediakan air.

Bahkan masyarakat melalui Pemerintah Daerah diminta supaya tetap dibiarkan seperti itu, tapi kemudian disediakan pompa supaya bisa mengalirkan air bersih untuk bisa menjadi sumber air minum buat masyarakat

“Kalau kita menilai bahwa yang tadinya itu adalah hutan, kemudian ‘diganggu’ atau ‘dirusak’ karena kegiatan pertambangan, apakah kemudian pada saat hasil akhirnya yang berbentuk lubang-lubang itu, nilai jasa lingkungannya menjadi 0 karena perubahan fungsinya? atau kemudian tetap punya nilai jasa lingkungan karena ada faktor dari pemanfaatan oleh Masyarakat itu?” tanya penasihat hukum.

Dengan tegas Prof. Sudarsono menyatakan bahwa kerugian yang muncul tidak serta merta berakibat negatif. Ada sisi lain yang berpotensi bahkan dirasakan langsung manfaatnya.

“Oke, jadi saya ambil dua jasa lingkungan. Penyimpanan air dan biodiversity. Kita lihat jasa lingkungannya. Nah, Ketika dia masih hutan, nilai jasa penyimpanan airnya itu ada. Saya enggak tau berapalah, ada. Kemudian, biodiversitynya juga ada. Wah kemudian setelah ini dirubah menjadi tambang dan ada void (lubangan), kita lihat lagi penyimpanan air dan biodiversity. Bisa jadi biodiversitynya 0, keanekaragamannya 0,” kata Prof. Sudarsono.

“Tetapi dari menyimpan air, naik tajam dan mungkin ada komponen lain, rekreasi naik juga, bisa jadi seperti itu. Jadi ada nilainya. Ini harus dinilai, enggak bisa dianggap nol, ada nilainya. Dan berapa nilainya itu harus kita lakukan valuasi. Jadi, perubahan ekosistem itu tidak selalu cost, loh. Bisa jadi gain, loh bahkan,” lanjutnya.

 

Kerugian Lingkungan

Peleburan timah
Ilustrasi peleburan timah. (Liputan6.com/MIND ID)

Pertanyaan itu muncul sebagai respon dari hasil perhitungan kerugian lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas penambangan timah sebesar Rp 271 triliun. Sayangnya, tidak dihitung dampak kebermanfaatan yang masyarakat peroleh.

Artinya pada saat diminta melakukan penghitungan kerugian lingkungan, berarti juga harus menilai bagaimana dampak akhir itu punya nilai manfaat terhadap Masyarakat, baik itu dipakai untuk dari sisi wisata atau nilai manfaat dari yang lainnya. Ahli tidak bisa hanya menghitung kerugian tanpa melihat dampak positifnya.

“Betul, jadi yang menilai itu Masyarakat. Yang menilai kompadimen itu adalah refleksi dari Masyarakat, bukan refleksi dari Ahli, bukan! Ahli itu hanya menggunakan metode yang bener untuk mengganti apa yang dirasakan oleh Masyarakat, itu sebetulnya. Oh, menurut saya segini, ahli itu bukan seperti itu fungsinya! Ahli itu menggali berapa nilainya ini. Ya kita tanya ke Masyarakat itu, bukan saya yang terus memberikan nilai. Ahli itu enggak bisa!” tegas Prof. Sudarsono.

Saksi Ahli Jelaskan Soal Kerugian Negara di Sidang Kasus Korupsi Timah

Dua Ahli Geologi yang sekaligus memiliki sertifikat Competent Person Indonesia (CPI) dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah.
Dua Ahli Geologi yang sekaligus memiliki sertifikat Competent Person Indonesia (CPI) dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah. (Ist)

Sidang kasus korupsi komoditas timah kembali berlanjut di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dengan menghadirkan saksi ahli hukum keuangan negara, Dian Puji Simatupang, pada Rabu 20 November 2024. Kepada majelis hakim, dia menjelaskan tentang kerugian negara dalam perkara tersebut.

Dian menyebut, ada salah pengertian soal kekayaan negara yang dapat membuat tuduhan korupsi juga dikenakan pada tindakan Direksi BUMN dalam transaksi, yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi jika dengan sengaja menjual saham tersebut secara melawan hukum, yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Dia mengatakan, harta kekayaan yang dimiliki oleh BUMN tidaklah menjadi bagian dari kekayaan negara. Ada penyertaan modal pemerintah atau pemisahan kekayaan negara dengan BUMN, yang dilakukan dalam rangka mitigasi risiko.

"Tapi esensi dasar sebenarnya Yang Mulia, mengapa tadi disampaikan, kita harus melihat dulu apa pengertian dari penyertaan modal pemerintah atau sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Mengapa harus ada dipisahkan Yang Mulia, karena berlakulah ketentuan prinsip di Pasal 1 angka 21 PP Nomor 27 Tahun 2014,” tutur Dian kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

“Maksudnya apa, maksud pemisahan itu agar dia menjadi miliknya orang yang menerima, sehingga seluruh regulasi, mitigasi risiko berpindah kepada mereka semua," sambungnya.

Dian pun merespons terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan telah terjadi kerugian negara dalam kasus korupsi di lingkungan PT Timah.

Tata Niaga Timah

Ahli Hukum Bisnis Nindyo Pramono dihadirkan oleh JPU sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi timah dengan terdakwa Tamron di PN Jakpus.
Ahli Hukum Bisnis Nindyo Pramono dihadirkan oleh JPU sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi timah dengan terdakwa Tamron di PN Jakpus. (Ist)

Menurutnya, selama suatu kegiatan tata niaga timah dilakukan dengan biaya anak perusahaan BUMN sendiri dan tidak ada pengeluaran negara lewat APBN untuk memulihkan kerusakan lingkungan, serta tidak ada kekayaan alam dalam bentuk timah yang dicatat milik negara, maka kegiatan tata niaga timah dalam anak perusahaan BUMN PT Timah tidaklah terdapat kerugian negara yang nyata dan pasti.

Selain itu, Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tersebut mengulas soal pemulihan kerusakan lingkungan, yang baginya tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada para terdakwa di kasus korupsi komoditas timah.

“Uang pengganti yang dibayar seluruh terdakwa tidak akan bisa dipakai untuk memulihkan lingkungan, karena alokasi pemulihan lingkungan hanya bisa dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup,” Dian menandaskan.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah membacakan surat dakwaan dalam sidang perdana untuk tiga terdakwa kasus korupsi komoditas timah, yakni Suranto Wibowo (SW), Rusbani (BN), dan Amir Syahbana (AS), pada Rabu, 31 Juli 2024.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya