Liputan6.com, Jakarta - Kampanye gaya hidup menghemat atau belakangan disebut frugal living tengah jadi perhatian masyarakat menyusul rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen. Langkah ini menuai berbagai pandangan dari para pengamat ekonomi.
Misalnya Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita yang menilai langkah frugal living sudah diterapkan jauh sebelum wacana kenaikan PPN. Masyarakat sudah menerapkan penghematan bahkan setelah serangan pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Kan sebelum isu (PPN Naik) muncul, frugal living ini udah dikampanyekan oleh kelas menengah sebenarnya. Karena apa? Karena tekanan biaya hidupnya sejak akhir pandemi sampai sekarang itu udah cukup besar, sehingga tidak sanggup lagi ditopang oleh pendapatan kelas menengah," kata Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (27/11/2024).
Advertisement
Secara sederhana, gaya hidup frugal yakni mementingkan belanja pada kebutuhan dan mengerem keinginan konsumtif. Targetnya adalah menjadikan biaya hidup menjadi lebih rendah dari pendapatan.
Ronny menilai penghematan yang dilakukan masyarkat itu jadi kelanjutan isu menurunnya kelas menengah. Konsep serupa yang dijalankan yakni dengan menurunkan pengeluaran dari pendapatan yang dinilai stagnan.
"Karena tingkat pendapatan mereka sudah tertekan cukup dalam, sehingga mereka harus berpikir ulang terhadap pengeluaran yang mereka lakukan selama ini sebagai kelas menengah. Sehingga jalan terbaik adalah melakukan frugal living atau model gaya hidup yang tidak terlalu berlebihan, yang sesuai dengan pendapatan," jelas dia.
Tak Bisa Selesaikan Masalah
Sementara itu, Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda memandang gaya hidup frugal living bisa jadi tak menyelesaikan masalah dari kenaikan PPN jadi 12 persen.
"Langkah frugal living yang dijalankan oleh sebagian masyarakat itu tidak akan menyelesaikan masalah sebenarnya. Bahwa frugal living ini atau berhemat mungkin akan jadi bagus ketika barangnya barang dari impor, tapi ketika itu barangnya dalam negeri itu justru akan semakin memperburuk keadaan," ucap Huda kepada Liputan6.com.
Dia menghitung, jika penghematan yang dilakukan adalah untuk produk-produk lokal dan UMKM, dampaknya dikhawatirkan akan mengganggu ekonomi nasional. Mengingat produk-produk itu masih butuh stimulus dari konsumsi masyarakat.
"Makanya ini harus hati-hati dalam menjalankan melalui frugal living. Jangan sampai ini backfire kepada ekonomi kita, dimana tentu UMKM ini masih butuh konsumsi dari masyarkaat, produk-produk lokal masih butuh dari masyarakat konsumsinya," jelas Huda.
Advertisement