Liputan6.com, Jakarta Tingginya penggunaan internet, serta kebijakan dan regulasi pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital menjadi fondasi kuat pesatnya pertumbuhan kemajuan FinTech di Indonesia. Namun terdapat pihak yang memanfaatkannya hanya untuk keuntungan pribadi dan merugikan masyarakat.
“P2P lending atau kerap dikenal sebagai pinjaman online yang menawarkan transaksi pinjaman serta pembiayaan digital merupakan salah satu model bisnis dari kemajuan teknologi finansial. Itu sangat digemari oleh masyarakat Indonesia beberapa tahun ke belakang,” kata Tasya Aqeela Kailani dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), dalam keterangan tertulis, Rabu (4/12/2024).
Advertisement
Baca Juga
Kemudahan serta efisiensi yang ditawarkan oleh pinjaman online berhasil memikat masyarakat Indonesia yang merasa terbebani akan sulitnya akses pelayanan keuangan karena dipenuhi dengan syarat administrasi formal yang perlu melalui proses panjang dan sulit.
Advertisement
Upaya dalam memastikan etika bisnis sudah dijalankan dengan baik oleh bisnis pinjaman online telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sebagai lembaga yang mengatur serta mengawasi sektor jasa keuangan dengan menggunakan compliance approach. OJK menggunakan aturan yang diterbitkan dalam mengatur dan mengontrol manajemen etika di bisnis fintek ini.
Semua bisnis pinjaman online wajib terdaftar dan diawasi langsung oleh OJK, lalu ketentuan dalam pemberian sukubunga dan denda maksimum yang tidak boleh terlalu tinggi, perlindungan akses data pribadi di mana bisnis pinjaman online yang berlisensi hanya boleh mengakses lokasi, mikrofon, dan kamera pengguna, serta dalam proses penagihannya, pihak penagih pinjaman perlu memiliki lisensi penagihan AFPI.
Dalam menjunjung etika bisnis benar-benar dijalankan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016, OJK menegaskan bahwa pihak fintek perlu menerapkan prinsip dasar terhadap perlindungan pengguna yang juga sesuai dengan prinsip etika bisnis, yaitu transparansi, kerahasiaan dan keamanan data, perlakuan adil, keandalan, serta penyelesaian harus secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Bisnis pinjaman online yang sudah terlisensi OJK memang sudah diawasi dengan ketat oleh OJK terkait aspek etika bisnis yang dijalankan oleh mereka.
Perkembangan informasi yang begitu cepat dan kemudahan akses yang disuguhkan kepada masyarakat tanpa kekuatan dalam mengedukasikan serta pemberian informasi mengenai cara memilah dan memilih pinjaman online yang sudah terlisensi oleh OJK. Itu menjadi salah satu lahirnya isu pinjaman online ilegal.
Bisnis Pinjaman Online Ilegal
Bisnis pinjaman online ilegal cenderung menawarkan jasa mereka melalui iklan di internet dengan pesan singkat yang menjanjikan syarat kredit yang cepat, mudah, dan praktis.
Hal ini membawa permasalahan baru di mana pinjaman online (pinjol) ilegal kerap merugikan masyarakat Indonesia yang ingin memenuhi kebutuhan finansial mereka melalui pinjaman dana secara online.
Jika kasus ini dibahas melalui pendekatan manajemen etika dalam berbisnis, pinjaman online ilegal sebagai suatu bisnis tidak mementingkan pendekatan manajemen etika, compliance approach, pengelolaan etika menggunakan kebijakan dan regulasi.
“Sebabnya karena mereka (pinjol ilegal) tidak terdaftar pada OJK dan tidak ada aturan yang mengontrol bisnis pinjaman online ilegal inisecara langsung,” katanya.
Ataupun melalui integrity approach karena tidak ada aspek edukasi, pelatihan, serta pembangunan integritas secara internal terkait etika bisnis dan pentingnya perlindungan pengguna oleh pemilik pinjaman online ilegal.
“Pelanggaran-pelanggaran etika yang dilakukan oleh bisnis pinjol ilegal ini sangat merugikan masyarakat Indonesia sebagai pengguna dan pihak yang meminjam dana,” ujarnya.
Advertisement
Pembebanan Dana
Ia mengatakan pembebanan dana yang terlalu tinggi pada denda serta suku bunga yang diberikan, perlindungan data pribadi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
saat proses penagihan sangat memberikan dampak buruk secara finansial dan mental pengguna.
Kerugian yang dirasakan akibat pinjaman online ilegal ini salah satunya dilatar belakangi dari minimnya literasi keuangan masyarakat Indonesia dalam menentukan platform pinjaman online apa yang terlisensi OJK dan dapat dipercaya.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) pada 2024 yang diterbitkan oleh OJK disebutkan bahwa indeks inklusi keuangan Indonesia sudah memasuki besaran 75,02%. Namun indeks literasi keuangan berada di bawahnya dengan besaran 65,43%.
Perbedaan indeks antara literasi keuangan dengan inklusi keuangan yang dijelaskan pada SNLIK oleh OJK ini dapat menjadi identifikasi perlunya pengerahan edukasi literasi keuangan Indonesia agar masyarakat tidak hanya mengerti lebih luas mengenai perkembangan teknologi finansial di Indonesia.
“Namun juga memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang disuguhkan di internet mengenai aspek finansial teknologi khususnya pinjaman online,” pungkasnya.