Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer, mengungkapkan bahwa industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Banyak perusahaan di sektor ini, termasuk PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), dilaporkan berada di ambang kebangkrutan atau pailit.
"Banyak sekali perusahaan tekstil yang mengalami kesulitan. Lebih dari tiga berarti banyak, dan jumlahnya memang cukup signifikan," ujar Immanuel saat ditemui media di Jakarta, Kamis (12/12/2024).
Advertisement
Baca Juga
Perusahaan Tekstil di Jawa Barat dan Jawa Tengah Paling Terdampak
Menurut Immanuel, persoalan ini tidak hanya menimpa Sritex, tetapi juga berbagai perusahaan tekstil lainnya, terutama di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Advertisement
"Di Jawa Barat dan Jawa Tengah ada beberapa perusahaan tekstil yang menghadapi situasi sulit. Masalah ini harus segera ditangani dengan langkah strategis," tambah Wamenaker.
Ia menegaskan bahwa kasus Sritex hanyalah puncak gunung es, dan fenomena ini mencerminkan kondisi serius di industri tekstil nasional.
"Bukan hanya Sritex, masih banyak perusahaan tekstil lainnya yang menghadapi nasib serupa. Ini persoalan besar yang harus kita atasi bersama," tegas Immanuel.
Dampak Regulasi dan Banjir Impor Tekstil
Selain persoalan internal perusahaan, Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita, menyebutkan bahwa 11 ribu tenaga kerja di industri tekstil telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini, menurut Reni, merupakan dampak dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Regulasi ini memudahkan masuknya beberapa komoditas tekstil impor ke Indonesia, sehingga pasar domestik dibanjiri oleh pakaian jadi dengan harga murah.
"Impor produk tekstil melalui marketplace dan media sosial semakin tidak terkendali. Sebelumnya saja sudah banjir, apalagi sekarang barang impor dijadikan bebas. Ini sangat berdampak pada produksi dalam negeri," jelas Reni.
Ia menilai kebijakan impor Kemendag kurang memperhatikan keseimbangan antara harga, supply, dan demand, sehingga memberikan tekanan besar pada industri tekstil nasional.
Solusi Strategis Diperlukan untuk Menyelamatkan Industri Tekstil
Wamenaker Immanuel menyerukan perlunya langkah strategis untuk menyelamatkan industri tekstil dari keterpurukan. Kolaborasi lintas kementerian dan evaluasi kebijakan impor menjadi salah satu kunci untuk mengatasi persoalan ini.
Dengan adanya sinergi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan pekerja, diharapkan industri tekstil Indonesia dapat pulih dan kembali bersaing di pasar domestik maupun internasional.
PPN Naik jadi 12%, Industri Tekstil Ketar-Ketir
Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kenaikan ini lantaran sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir.Â
"Dalam hitungan kami, ketika PPN dikenakan 11 persen, maka sebenarnya PPN yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8 persen, karena rantai nilai tekstil itu panjang dimana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang. Jika PPN dinaikan menjadi 12 persen maka beban konsumen akhir menjadi 21,6 persen dari harga barang sebenarnya," kata Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, Senin (25/11/2024).
Ardiman menilai di tengah kondisi dayabeli masyarakat yang sedang menurun, dikhawatirkan kenaikan PPN ini akan berimbas pada turunnya konsumsi tekstil masyarakat, sehingga tujuan pemerintah untuk menerima pemasukan yang lebih besar justru menjadi kontra produktif karena turunnya konsumsi tekstil masyarakat akan mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil. Oleh karena itu, YKTI menyarankan agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) fokus memberantas impor ilegal.Â
"Kalau kita hitung dari data selisih perdagangan TPT di trade map, dalam 5 tahun terakhir diperkirakan penerimaan negara hilang Rp46 triliun karena gap perdagangannya kan capai USD7,2 milir atau sekitar Rp106 triliun nilai barang yang tidak bayar Bea Masuk, PPN dan PPh” jelas Ardiman.
Â
Advertisement
Penerimaan Negara Bisa Naik
Menurutnya, asal impor ilegal diberantas, penerimaan negara dari TPT akan naik Rp9 triliun pertahun tanpa harus menaikan PPN.
Disisi lain, pemberantasan importasi ilegal juga akan menggairahkan kembali bisnis produksi TPT ditanah air sehingga pabrik-pabrik tekstil akan meningkatkan utilisasi produksinya, kembali beroperasi dan menyerap tenaga kerja hingga mempekerjakan tambahan karyawan.
"Masyarakat yang bekerja dan berpenghasilan secara otomatis akan meningkatkan dayabeli dan konsumsi, nah disini baru pemerintah akan mendapatkan imbasnya di PPN," pungkasnya.Â
Â
Â
Â
Reporter:Â Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com