Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Budi Santoso (Mendag Busan) buka peluang untuk melobi Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Menyusul ancaman tarif dagang yang gencar disuarakan Trump.
"Nanti kita coba lakukan pendekatan lagi, jadi seperti apa formulasi hubungan yang bagus. Sehingga kita bisa menembus pasar Amerika," ujar Mendag Busan di Jakarta, Rabu (15/1/2025).
Advertisement
Baca Juga
Oleh karena itu, Pemerintah RI disebutnya tengah mempersiapkan kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat, agar perdagangan dengan Negeri Paman Sam tidak terganggu.
Advertisement
Di luar itu, Mendag juga meyakini periode kedua pemerintahan Donald Trump tidak bakal menghambat kinerja ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Menurut dia, Indonesia bakal tetap dipandang penting oleh AS selama punya nilai jual lebih.
"Makanya kita harus siap. Yang penting itu kita punya daya saing. Jadi kalau kita misalnya punya daya saing, terus kita bersaing dengan negara lain, daya saing kita bagus, saya pikir enggak akan kalah," tutur dia.
Optimisme senada sebelumnya sempat dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Amerika Serikat memang telah mengenakan tarif terhadap sejumlah komoditas made in Indonesia, seperti sepatu dan pakaian.Meskipun demikian, Airlangga menilai bahwa Indonesia sudah cukup terproteksi terhadap kebijakan tarif tersebut, meskipun dampaknya tetap dirasakan dalam perdagangan.
"Kita sudah agak imun dengan tarif yang dikenakan AS ke Indonesia," ujarnya beberapa waktu lalu.
Untuk mengatasi hal ini, Airlangga menegaskan pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan AS.
Langkah yang Ditempuh
Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan mengajukan kerja sama ekonomi secara bilateral. Tujuannya adalah agar tarif yang diberlakukan oleh AS terhadap produk Indonesia bisa ditekan, sehingga meningkatkan daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
"Ya kita sedang minta akan ada kerja sama ekonomi secara bilateral supaya tarifnya kita turunkan," ujarnya.
Kerja sama bilateral ini bisa mencakup berbagai bentuk, termasuk perundingan mengenai Free Trade Agreement (FTA) atau bentuk lainnya yang diharapkan dapat memperbaiki akses pasar Indonesia ke AS.
"Bilateral bisa dalam bentuk FTA bisa dalam bentuk lain juga," katanya.
Airlangga menilai, langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya mitigasi dampak tarif yang diterapkan oleh negara adidaya tersebut, guna menjaga kelancaran perdagangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketegangan perdagangan internasional.
Advertisement
The Fed Soroti Dampak Tarif Impor Donald Trump pada Perusahaan AS
Sebelumnya, tarif impor selama masa jabatan pertama Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump menurunkan nilai saham pada hari tarif tersebut diumumkan.
Mengutip US News, Jumat (6/12/2024) analisis baru oleh staf Federal Reserve Bank of New York, menyoroti dampak dari kebijakan tarif tersebut terhadap laba, penjualan, dan lapangan kerja yang lebih rendah pada masa mendatang bagi perusahaan-perusahaan AS yang harga ekuitasnya terpukul paling kera.
Perusahaan-perusahaan AS yang terlibat langsung dalam perdagangan dengan China misalnya, di mana sekitar setengah dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa, mengalami kerugian pasar saham yang lebih besar ketika tarif impor impor Trump pertama kali diumumkan selama tahun 2018 dan 2019, dan selama dua tahun berikutnya mengalami penurunan laba sekitar 13% lebih rendah daripada yang lain.
"Salah satu motivasi utama untuk mengenakan tarif pada barang-barang impor adalah untuk melindungi perusahaan-perusahaan AS dari persaingan asing. Dengan mengenakan pajak impor, harga domestik menjadi relatif lebih murah, dan warga Amerika mengalihkan pengeluaran dari barang-barang asing ke barang-barang domestik," ungkap ekonom The Fed New York, termasuk Mary Amiti, kepala studi pasar tenaga kerja dan produk di kelompok penelitian bank tersebut.
"Namun, sebagian besar perusahaan mengalami kerugian valuasi yang besar pada hari pengumuman tarif. Kami juga mendokumentasikan bahwa kerugian finansial ini berdampak pada pengurangan laba, lapangan kerja, penjualan, dan produktivitas tenaga kerja di masa mendatang,” ungkap para analis The Fed New York.
Tim peneliti New York The Fed menambahkan, karena rantai pasokan global rumit dan negara-negara asing membalas, hasil analisis menunjukkan perusahaan mengalami kerugian besar dalam arus kas yang diharapkan dan hasil riil. "Kerugian ini bersifat luas, dengan perusahaan yang terpapar ke China mengalami kerugian terbesar,"
Tarif Impor ke Negara Lain
Selain pada China, Trump juga memberlakukan tarif impor sebesar 25% pada barang-barang dari Kanada dan Meksiko.
"Langkah seperti itu akan mendorong ketiga ekonomi Amerika Utara mendekati atau memasuki resesi," tulis Ben May, direktur penelitian ekonomi makro global di Oxford Economics, dalam sebuah analisis.
Ben May juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang lamban atau negatif di AS selama dua tahun ke depan dan perdagangan dunia turun sebesar 10%. Namun, dampak dari kebijakan ekonomi Trump masih belum diketahui pasti.
Advertisement
Pemulihan Ekonomi China Terancam Tarif Impor AS
Sebelumnya, China berupaya perbaiki ekonomi yang lesu dengan rencana baru yang diharapkan segera diumumkan oleh National People’s Congress (NPC), badan eksekutif legislatif China.
Dikutip dari BBC, Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS untuk periode kedua ini dapat menggagalkan upaya tersebut. Trump telah menyatakan niatnya untuk kembali mengenakan tarif tinggi pada barang-barang impor dari China, termasuk tarif hingga 60%.
Hal ini berpotensi merusak rencana Presiden Xi Jinping untuk menjadikan China sebagai kekuatan teknologi global dan semakin memperburuk hubungan ekonomi antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
China kini tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi, seperti penurunan pasar properti, utang pemerintah yang meningkat, pengangguran yang tinggi, serta rendahnya tingkat konsumsi. Setelah sempat menerapkan pembatasan ketat selama pandemi, ekonomi China kini kesulitan untuk pulih ke tingkat pertumbuhan seperti sebelum pandemi.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan tahunan China menjadi 4,8% untuk tahun 2024, di bawah target Beijing yang sebesar “sekitar 5%”. Tahun berikutnya, IMF memperkirakan pertumbuhan China akan turun lagi menjadi 4,5%.
Menurut Xi Jinping, perubahan ini adalah bagian dari rencana jangka panjang untuk meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. “Kami beralih dari pertumbuhan cepat ke pembangunan berkualitas tinggi,” ujarnya pada 2017.