Liputan6.com, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait pagar laut Tangerang. Adanya penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah perairan pesisir Tangerang ini merupakan pelanggaran serius.
“Pengakuan Menteri ATR/BPN menjadi bukti keras adanya praktik kolusi antara oknum pejabat di ATR/BPN, Pemerintah Daerah, dan pihak Perusahaan dan individu dalam menabrak aturan hukum dengan menerbitkan HGB dan SHM ilegal di atas laut,” tegas Ketua Umum KNTI Dani Setiawan dalam keterangan tertulis, Rabu (22/1/2025).
Advertisement
Baca Juga
Seperti diketahui, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 263 bidang HGB yang dimiliki oleh 2 Perusahaan dan perorangan, di antaranya PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, serta atas nama perorangan sebanyak 9 bidang. Selain itu, terdapat 17 bidang yang memiliki Sertifikat Hak Milik.
Advertisement
Bukti ini juga seharusnya dapat memandu Aparat Penegak Hukum untuk mengusut dan memproses hukum pelaku pemagaran laut ilegal yang melintang sepanjang 30 KM di perairan laut Tangerang.
Pemberian hak di atas laut tidak dapat dibenarkan secara hukum. Hal ini juga ditegaskan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 atas perkara pengujian UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) karena bertentangan dengan konstitusi dan prinsip keadilan sosial.
Artinya, tidak mungkin ada penerbitan HGB atau SHM di atas laut. Jika itu terjadi, maka itu merupakan praktik ilegal. Karena itu, KNTI mendorong agar Aparat Penegak Hukum segera bertindak melakukan penyelidikan dan penyidikan secara cepat.
Mengorbankan Kepentingan Rakyat
Langkah cepat harus dilakukan dengan mencabut pagar dan mengusut para pelaku dan membawanya ke proses hukum. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menjaga wibawa negara atas penghinaan terhadap negara dengan mempermainkan hukum yang dilakukan melalui praktik kolusi oknum penguasa-pengusaha untuk mengambil keuntungan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara tidak sah.
Praktik ini telah nyata mengorbankan kepentingan rakyat, terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam di laut Tangerang.
KNTI juga mendesak agar kasus ini sekaligus menjadi momentum Pemerintah untuk memeriksa kasus-kasus serupa di banyak wilayah di Indonesia. Kasus pemagaran laut di Tangerang merupakan potret kecil dari banyak modus perampasan ruang laut (ocean grabbing) yang berdampak negatif kepada nelayan kecil.
Hal tersebut dapat berupa kegiatan reklamasi Pantai, penambangan pasir, atau pengkavlingan wilayah laut untuk kepentingan bisnis komersil tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. Praktik semacam ini dalam banyak kasus menyebabkan nelayan tersingkir dari wilayah tangkapnya dan kesulitan untuk mencari ikan.
Advertisement
Pemiskinan Nelayan
Sesungguhnya di Indonesia saat ini sedang terjadi suatu kontestasi yang tidak seimbang dalam pemanfaatan ruang laut antara nelayan kecil dan pemilik modal yang memiliki akses kepada kekuasaan, yang dalam banyak kasus, nelayan selalu kalah dan menjadi korban.
“Jika hal ini terus dibiarkan, maka proses marjinalisasi dan pemiskinan nelayan dan Masyarakat pesisir akan terus terjadi melalui praktik privatisasi ruang laut yang sering menggunakan kedok pembangunan dan investasi,” tegas Dani menambahkan.
KNTI juga mendesak agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meningkatkan pengawasan terhadap praktik-praktik privatisasi ruang laut yang meminggirkan hak nelayan kecil untuk mencari ikan. Tugas KKP seharusnya memastikan dan menjaga agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan di wilayah pesisir serta menjaga agar lingkungan laut tetap lestari dan berkelanjutan.