Bank Indonesia (BI) pekan lalu akhirnya memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin (bps) ke level 7%. Bank sentral juga mengangkat tingkat bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) sebesar 25 bps. Keputusan yang langsung direspons positif terlihat dari penguatan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesaat usai pengumuman.
Sayangnya, sentimen positif tersebut tak bisa berlangsung lama. Rupiah kembali melemah dan IHSG terkulai lemas setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan makin melebarnya defisit neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013. Padahal kabar inflasi Agustus yang menurun ke level 1,12% sudah bisa memenuhi ekspektasi pasar.
Alhasil, laju rupiah dari data kurs Valas Bloomberg kembali masuk dalam tren melemah ke level di atas 11.000 per dolar AS. Begitu pula IHSG yang kembali sempat anjlok hingga 100 poin.
Keputusan BI menaikkan suku bunga BI rate menjadi pertanyaan sejumlah kalangan analis karena menyasar dua hal yang berbeda. Di satu sisi, BI rate dianggap sebagai cara bank sentral menjaga fluktuasi nilai tukar rupiah. Sebagian lagi beranggapan, kebijakan BI rate lebih ditujukan untuk mengantisipasi laju inflasi yang bakal meningkat tinggi.
"Sebetulnya yang disasar secara pasti adalah bagaimana bank sentral ingin menarik kelebihan likuditas di market," ujar Managing Director PT Investa Saran Mandiri, Jhon Veter dalam perbincangan dengan Liputan6.com.
Keputusan BI menggelar Rapat Dewan Gubernur tambahan juga menjadi sorotan pelaku pasar. RDG yang digelar jelang akhir pekan ini memunculkan ekspektasi adanya tindakan yang dilakukan BI menghadapi kondisi perekonomian yang ada khususnya dari sisi moneter.
Namun, pertemuan tersebut tak luput memunculkan kekhawatiran adanya kepanikan dari para pembukaan kebijakan.
Dengan dampak yang sudah terasa dalam beberapa hari terakhir, seberapa efektifkan kebijakan BI rate ini dalam menekan fluktuasi kurs rupiah? Siapa yang diuntungkan dari kebijakan baru tersebut? Asing ataukah lokal?
Berikut ulasan Jhon Veter dalam wawancara khususnya dengan Liputan6.com:
Sayangnya, sentimen positif tersebut tak bisa berlangsung lama. Rupiah kembali melemah dan IHSG terkulai lemas setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan makin melebarnya defisit neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013. Padahal kabar inflasi Agustus yang menurun ke level 1,12% sudah bisa memenuhi ekspektasi pasar.
Alhasil, laju rupiah dari data kurs Valas Bloomberg kembali masuk dalam tren melemah ke level di atas 11.000 per dolar AS. Begitu pula IHSG yang kembali sempat anjlok hingga 100 poin.
Keputusan BI menaikkan suku bunga BI rate menjadi pertanyaan sejumlah kalangan analis karena menyasar dua hal yang berbeda. Di satu sisi, BI rate dianggap sebagai cara bank sentral menjaga fluktuasi nilai tukar rupiah. Sebagian lagi beranggapan, kebijakan BI rate lebih ditujukan untuk mengantisipasi laju inflasi yang bakal meningkat tinggi.
"Sebetulnya yang disasar secara pasti adalah bagaimana bank sentral ingin menarik kelebihan likuditas di market," ujar Managing Director PT Investa Saran Mandiri, Jhon Veter dalam perbincangan dengan Liputan6.com.
Keputusan BI menggelar Rapat Dewan Gubernur tambahan juga menjadi sorotan pelaku pasar. RDG yang digelar jelang akhir pekan ini memunculkan ekspektasi adanya tindakan yang dilakukan BI menghadapi kondisi perekonomian yang ada khususnya dari sisi moneter.
Namun, pertemuan tersebut tak luput memunculkan kekhawatiran adanya kepanikan dari para pembukaan kebijakan.
Dengan dampak yang sudah terasa dalam beberapa hari terakhir, seberapa efektifkan kebijakan BI rate ini dalam menekan fluktuasi kurs rupiah? Siapa yang diuntungkan dari kebijakan baru tersebut? Asing ataukah lokal?
Berikut ulasan Jhon Veter dalam wawancara khususnya dengan Liputan6.com: