Buruh Indonesia menolak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Pekerja. Apa alasannya?
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Inpres no 9 tahun 2013 tentang pengaturan upah minimum ditolak oleh buruh.
"Sehingga buruh memutuskan untuk mogok nasional pada 28-30 Oktober 2013 di 20 provinsi seluruh Indonesia," kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Adapun ketiga alasan tersebut yaitu:
1. Upah di atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Dalam Inpres tersebut dikatakan bagi daerah yang upah minimumnya sudah diatas KHL, maka dilakukan perundingan Bipatrit antara pengusaha dan serikat pekerja untuk membahas kenaikan upah.
Hal ini jelas menunjukan pemerintah tidak mengerti konstisusi karena dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003, jelas disebutkan upah minimum ditetapkan oleh pemerintah sebagai jaring pengaman (savetynett) agar buruh tidak absolut miskin.
Sedangkan penetapan upah oleh Bipatrit dilakukan ditingkat perusahaan untuk buruh yang bermasa kerja diatas satu tahun yang disebut dengan kenaikan upah berkala bukan kenaikan upah minimum. Karena, upah minimum diberikan untuk buruh yang bermasa kerja di bawah setahun.
2. Mubazir.
Penetapan Inpres tersebut sangat mubazir dan terkesan pemerintah ditekan oleh pengusaha, karena semua isi Inpres tersebut sudah diatur semuanya di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 13 Tahun 2012, Permenakertrans 01 Tahun 1999 yang menyatakan penetapan upah minimum didasarkan pada survei biaya hidup yang dikenal dengan istilah KHL.
Tetapi, dalam Inpres tersebut menjadi blunder karena penetapan upah minimum dibawah KHL didasarkan kepada jenis industri padat karya dan non padat karya, jelas hal ini bertentangan dengan UU.
Seharusnya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan Inpres tetapi lebih baik berdiskusi dengan buruh dan pengusaha untuk menentukan berapa jumlah item KHL yang wajar agar tidak terjadi perselisihan antara pengusaha dan buruh, di mana usulan buruh item KHL berjumlah 84 item, sedangkan sikap pemerintah dan pengusaha item KHL berjumlah 60 item.
3. Langgar Konvensi ILO.
Inpres tersebut melanggar konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja. Serta berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di lapangan karena dalam Inpres tersebut memerintahkan kepolisian RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum.
Ini berarti, pemerintah menarik kepolisian kembali ikut campur dalam persoalan hubungan industrial. Oleh karenanya tidak ada urusan kepolisian dengan penertapan upah minimum, kalau memang khawatir dengan aksi-aksi buruh maka pendekatannya adalah melalui UU Nomor 9 Tahun 1998, UU Nomor 21 Tahun 2000, dan UU Nomor 13 Tahun 2003, bukan melalui Inpres.
"Maka KSPI akan mengajukan gugatan ke ILO terhadap Inpres ini dan bila mana perlu melakukan gugatan ke komisi tinggi HAM PBB," terang Iqbal. (Ndw)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Inpres no 9 tahun 2013 tentang pengaturan upah minimum ditolak oleh buruh.
"Sehingga buruh memutuskan untuk mogok nasional pada 28-30 Oktober 2013 di 20 provinsi seluruh Indonesia," kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Adapun ketiga alasan tersebut yaitu:
1. Upah di atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Dalam Inpres tersebut dikatakan bagi daerah yang upah minimumnya sudah diatas KHL, maka dilakukan perundingan Bipatrit antara pengusaha dan serikat pekerja untuk membahas kenaikan upah.
Hal ini jelas menunjukan pemerintah tidak mengerti konstisusi karena dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003, jelas disebutkan upah minimum ditetapkan oleh pemerintah sebagai jaring pengaman (savetynett) agar buruh tidak absolut miskin.
Sedangkan penetapan upah oleh Bipatrit dilakukan ditingkat perusahaan untuk buruh yang bermasa kerja diatas satu tahun yang disebut dengan kenaikan upah berkala bukan kenaikan upah minimum. Karena, upah minimum diberikan untuk buruh yang bermasa kerja di bawah setahun.
2. Mubazir.
Penetapan Inpres tersebut sangat mubazir dan terkesan pemerintah ditekan oleh pengusaha, karena semua isi Inpres tersebut sudah diatur semuanya di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 13 Tahun 2012, Permenakertrans 01 Tahun 1999 yang menyatakan penetapan upah minimum didasarkan pada survei biaya hidup yang dikenal dengan istilah KHL.
Tetapi, dalam Inpres tersebut menjadi blunder karena penetapan upah minimum dibawah KHL didasarkan kepada jenis industri padat karya dan non padat karya, jelas hal ini bertentangan dengan UU.
Seharusnya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan Inpres tetapi lebih baik berdiskusi dengan buruh dan pengusaha untuk menentukan berapa jumlah item KHL yang wajar agar tidak terjadi perselisihan antara pengusaha dan buruh, di mana usulan buruh item KHL berjumlah 84 item, sedangkan sikap pemerintah dan pengusaha item KHL berjumlah 60 item.
3. Langgar Konvensi ILO.
Inpres tersebut melanggar konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja. Serta berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di lapangan karena dalam Inpres tersebut memerintahkan kepolisian RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum.
Ini berarti, pemerintah menarik kepolisian kembali ikut campur dalam persoalan hubungan industrial. Oleh karenanya tidak ada urusan kepolisian dengan penertapan upah minimum, kalau memang khawatir dengan aksi-aksi buruh maka pendekatannya adalah melalui UU Nomor 9 Tahun 1998, UU Nomor 21 Tahun 2000, dan UU Nomor 13 Tahun 2003, bukan melalui Inpres.
"Maka KSPI akan mengajukan gugatan ke ILO terhadap Inpres ini dan bila mana perlu melakukan gugatan ke komisi tinggi HAM PBB," terang Iqbal. (Ndw)