Liputan6.com, Jakarta - Tak ada yang pasti di dunia ini. Segalanya sungguh sulit diterka. Sekarang tertawa, esok bisa jadi berduka. Kini sengsara, esok boleh jadi malah berjaya dan bahagia. Tengoklah Claudio Ranieri.
Mei tahun lalu, dia dipuja-puja seantero jagat raya karena membawa Leicester City membuat dongeng indah, juara Premier League untuk kali pertama. Itu pula yang membuat allenatore asal Italia tersebut diganjar titel pelatih terbaik dunia 2016. Namun, tak disangka, dia harus mengepak koper dan angkat kaki dari King Power Stadium hanya sembilan bulan kemudian. Gara-garanya, The Foxes jeblok hingga terancam degradasi ke Divisi Championship.
Advertisement
Baca Juga
Banyak orang berempati terhadap Ranieri. Mereka tak segan menuding manajemen Leicester keterlaluan dan tak tahu terima kasih. Mereka menutup mata pada fakta keterpurukan luar biasa Danny Drinkwater cs. Andai saja The Foxes tak terancam degradasi, misalnya berada di papan tengah, Ranieri pasti tak akan dilengserkan. Pemilik dan para direktur Leicester tentu sadar, tak mungkin berharap back to back juara.
Para pengkritik juga menutup mata pada sisi lain dari pemecatan itu. Bisa saja manajemen Leicester melakukan hal tersebut justru untuk menjaga harga diri Ranieri. Tentu akan jauh lebih tak elok bila pelatih yang pernah menangani AS Roma, Juventus, Internazionale, Chelsea, dan Valencia itu dibiarkan menjadi manajer pertama yang membawa timnya juara dan degradasi secara beruntun di Premier League.
Hal yang juga dikesampingkan banyak orang, Ranieri sudah diberi banyak waktu untuk memperbaiki performa The Foxes. Namun, dalam 25 pekan, alih-alih bangkit, timnya justru makin terpuruk dan terseret ke zona berbahaya. Karena tak mungkin memecat semua pemain di skuat The Foxes, langkah paling masuk akal tentu mengganti sang nakhoda.
Hasilnya, Selasa (28/2/2017) dinihari WIB, Drinkwater dkk. sukses menaklukkan tamu yang datang dengan menempuh perjalanan 150 km dari barat laut Inggris, Liverpool. Kemenangan itu pun dibukukan dengan sangat meyakinkan. Mereka lebih dominan di lapangan dan mencetak dua gol sebelum turun minum. Saat laga usai, skor menjadi 3-1. Padahal, sang lawan punya waktu luang dua pekan untuk mempersiapkan diri. Sementara itu, The Foxes lima hari sebelumnya berjibaku menghadapi Sevilla di Liga Champions.
Bagi Leicester, kemenangan itu menjadi setitik air di tengah gurun, secercah cahaya di tengah kegelapan. Sebaliknya, untuk Liverpool, kekalahan tersebut makin memperdalam krisis. Itu kekalahan keenam dalam sepuluh laga terakhir di semua ajang. Sebelumnya, mereka ditaklukkan Swansea City, Hull City, Wolverhampton Wanderers, dan dua kali kalah dari Southampton. Hujan kritik pun tak ayal melanda Anfield, markas The Reds. Pasalnya, enam kekalahan itu hampir memastikan Liverpool nirtrofi seperti empat musim sebelumnya.
Kekalahan dari Southampton membuat Liverpool gagal melangkah ke final Piala Liga, sementara kekalahan dari Wolverhampton menjadikan mereka tersingkir dari percaturan Piala FA. Adapun kekalahan dari Hull, Swansea, dan Leicester yang ditambah hasil imbang dengan Sunderland dan Manchester United membuat The Reds merosot dari posisi ke-2 ke posisi ke-5.
Kini, setelah melakoni 26 laga di Premier League, Jordan Henderson cs. tertinggal 14 poin dari sang pemuncak klasemen, Chelsea. Padahal, saat melewati paruh musim, mereka hanya tertinggal enam angka dan disebut-sebut sebagai kandidat terkuat untuk menjegal The Blues. Sungguh fakta menyesakkan yang tak terpikirkan sebelumnya. Tak heran bila kekecewaan para fans meledak dan hujatan pun berhamburan.
Gema #KloppOut
Keterpurukan itu membingungkan dan tak mudah dicerna akal sehat siapa pun. Tak terkecuali oleh manajer Jurgen Klopp yang usai kekalahan dari Leicester mengaku tak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan performa Liverpool. Tidak di bahasa ibunya, Jerman, tidak pula di bahasa Inggris. Sungguh masuk akal karena dalam pertandingan sebelumnya, Lallana dkk. tampil rancak dan sukses memukul Tottenham Hotspur, sesama tim papan atas, dengan skor 2-0.
Hujatan kini mengarah kepada Klopp. Tagar #KloppOut kian marak setelah kekalahan dari Leicester. Para pendukung setia The Reds mulai menganggap pria asal Jerman itu PHP alias pemberi harapan palsu belaka. Para pakar pun secara implisit menilai Klopp sebagai pelatih yang overrated. Dasarnya, eks pelatih Borussia Dortmund tersebut seperti tak memiliki rencana cadangan dan taktik alternatif. Dia pun terkesan tak pernah mempelajari lawan secara sungguh-sungguh sebelum laga.
Ini perubahan yang sangat drastis. Masih segar di ingatan euforia yang tercipta saat pelatih yang mengawali karier kepelatihannya di FSV Mainz 05 tersebut menggantikan Brendan Rodgers. Reputasinya sebagai Bayern-Schreck bersama Dortmund dan karakternya yang funky dinilai cocok dengan Liverpool. Apalagi di dalam Klopp memang ada Kop.
Saat itu, Klopp bukan lagi dianggap sebagai dewa, melainkan Tuhan. Banyak orang yakin, dia pasti mampu membawa Liverpool berjaya di semua ajang. Tak terkecuali merebut gelar pertama di Premier League yang sejak musim pertamanya pada 1992-93 hanya impian, jauh panggang dari api. Dari Graeme Souness hingga Rodgers, tak ada manajer yang sanggup mewujudkannya.
Kini, Klopp tak ubahnya pesakitan karena telah mengecewakan para kopites. Dia memainkan emosi mereka dengan melambungkan asa setinggi langit dan tiba-tiba menjatuhkannya ke bumi. Dia membuai dengan permainan ala heavy metal dan tak terkalahkan saat menghadapi tim-tim besar, namun tak berdaya kala melawan klub-klub papan bawah. Dari lima kekalahan yang dialami Liverpool di Premier League musim ini, Bournemouth adalah tim dengan peringkat tertinggi. Saat menghadapi The Reds, The Cherries ada di posisi ke-12.
Sudah begitu, rekor Klopp ternyata tak lebih baik dari Rodgers yang dianggap biang kegagalan Liverpool. Dalam jumlah laga yang sama dengan Klopp saat ini, perolehan Rodgers justru lebih baik. Dari 87 pertandingan, Liverpool bersama Rodgers meraih 46 kemenangan, 20 kali imbang, 21 kali kalah, 32 kali clean sheet, mencetak 182 gol, dan kebobolan 103 gol. Adapun The Reds bersama Klopp mendulang 42 kemenangan, 25 hasil imbang, 20 kekalahan, 30 kali clean sheet, mencetak 163 gol, dan kebobolan 104 gol.
Ini tamparan keras bagi para kopites yang terang-terangan meminta manajemen mengganti Rodgers dengan Klopp pada 2015 lalu. Ekspektasi mereka yang kadung tinggi terhadap sang nakhoda baru tak berbuah manis. Sosok yang diagungkan bak tuhan ternyata tak lebih baik dari manajer yang mereka singkirkan.
Advertisement
Sonder Pemimpin
Banyak analisis soal krisis yang melanda Liverpool saat ini. Tak ketinggalan pula muncul pihak-pihak yang dijadikan kambing hitam. Para pakar pun mengurai berbagai faktor yang membuat The Reds oleng walau sempat berada di atas. Kegagalan di bursa transfer, performa buruk lini belakang, skuat yang tak merata, hingga taktik yang tak fleksibel diangkat ke permukaan. Pada akhirnya, Klopp adalah pihak yang paling disalahkan. Setelah itu, ada beberapa pemain yang jadi kambing hitam. Sebut saja Lucas Leiva dan Emre Can yang mengecewakan dalam laga melawan The Foxes.
Tak bisa disangkal, sebagai manajer, Klopp memang sosok yang harus bertanggung jawab. Setidaknya, dia gagal mengidentifikasi kelemahan timnya sehingga gagal membuat antisipasi dan solusi. Masalah utama Liverpool sebenarnya adalah mentalitas yang buruk. Klopp seharusnya menyadari hal itu ketika mereka gagal menjuarai Piala Liga dan Liga Europa musim lalu.
Kekalahan dari Manchester City dan Sevilla di final dua ajang itu nyata-nyata menunjukkan para penggawa Liverpool tak punya cukup mental untuk juara. The Reds memerlukan para pemain dengan mental pemenang, bukan cuma sekadar Sadio Mane, Giorginio Wijnaldum atau Roberto Firmino. Mereka butuh pemain sekelas Alexis Sanchez dan Zlatan Ibrahimovic yang mampu mengubah situasi dengan aksinya.
Kegagalan meraih trofi pada musim lalu pun sebuah kerugian tersendiri bagi Klopp. Andai saja mampu juara, itu akan menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak asuhnya untuk mengarungi kompetisi berikutnya. Sebaliknya, kegagalan tentu membuat para pemain kurang percaya diri, bahkan ketika berada di puncak sekalipun. Sangat mungkin di dalam hati mereka terbersit tanya, "Cukup baguskah saya untuk juara?"
Masih terkait dengan urusan mentalitas ini, Liverpool juga tak memiliki figur pemimpin. Di skuat saat ini, kebanyakan cuma nice guy. Tidak ada sosok yang mampu mengintimidasi lawan sejak melangkah dari ruang ganti ke lapangan dan menularkan gairah memangsa kepada rekan-rekan setimnya. Figur seperti ini pula yang mampu memompakan semangat ketika menghadapi tim besar dan tetap menjaga kewaspadaan kala meladeni tim semenjana. Henderson, Lallana, Philippe Coutinho, James Milner, Firmino, dan Mane bukanlah sosok seperti itu.
Dalam hal yang satu ini, The Reds kalah dari Chelsea dan Man. United. Awal musim ini, The Blues berhasil mendatangkan kembali David Luiz. Adapun Red Devils merekrut Zlatan Ibrahimovic. Keduanya tergolong figur pemimpin di dalam tim. Mereka bukan hanya mampu menularkan aura positif, melainkan juga sanggup menjadi pemutus kebuntuan. Keberadaan Chelsea di puncak klasemen Premier League saat ini tak terlepas dari faktor Luiz. Demikian pula kesuksesan Man. United menjuarai Piala Liga tak bisa dilepaskan dari faktor Ibra.
Tengoklah ke belakang, betapa banyak figur pemimpin yang ada di skuat Liverpool saat menjuarai Liga Champions 2004-05. Lihat juga skuat saat terakhir kali The Reds mengangkat piala pada 2011-12. Ada sosok-sosok pemimpin di sana. Saat membawa Dortmund back to back juara Bundesliga pada 2010-11 dan 2011-12, Klopp juga punya sederet pemimpin di lapangan. Sebut saja Sebastian Kehl, Roman Weidenfeller, Jakub Blaszczykowski, Mats Hummels, hingga Neven Subotic.
Setiap kali hasil buruk diraih tim asuhan Klopp, para fans Liverpool dengan mudah menunjuk ketiadaan pemain tertentu sebagai faktornya. Suatu waktu, itu adalah Coutinho. Berikutnya, dia adalah Mane. Terakhir, Liverpool kalah karena tak ada Henderson. Padahal, saat takluk 0-2 di kandang Hull, ketiganya bermain penuh. Tak satu pun yang ditarik ke luar lapangan oleh Klopp. Ini membuktikan bahwa ketika mereka ada pun Liverpool masih kehilangan sosok lain. Sosok itu adalah figur pemimpin dengan mentalitas pemenang.
Sepanjang The Reds gagal mendatangkan figur-figur pemimpin, sepertinya kisah php seperti musim lalu dan musim ini akan terus berulang. Tak peduli apakah sang "tuhan" masih ada di pinggir lapangan atau sudah dilengserkan, nasib The Reds sangat mungkin tak akan berubah. Sehebat apa pun manajer yang ada, dia butuh figur-figur seperti itu. Kecuali dia mampu menggandeng mesra Fortuna seperti Ranieri musim lalu.
*Penulis adalah pengamat, jurnalis dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz