Sejarah Kepemimpinan PSSI: Kursi Panas yang Selalu Menjadi Rebutan

Mochamad Iriawan menjadi Ketua Umum PSSI ke-20 dalam sejarah, sejak organisasi satu ini didirikan pada 19 April 1930.

oleh Ario Yosia diperbarui 02 Nov 2019, 14:50 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2019, 14:50 WIB
Irjen. Pol. Drs. Mochamad Iriawan
Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol. Drs. Mochamad Iriawan saat berkunjung ke SCTV Tower, Jakarta, Senin (20/2). (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Jakarta - Mochamad Iriawan resmi terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2019-2023. Mantan Kapolda Metro Jaya tersebut terpilih dalam hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Pemilihan PSSI di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (2/11/2019).

Pria yang akrab disapa Iwan Bule itu unggul mutlak saat penghitungan suara. Pria kelahiran 31 Maret 1962 tersebut mengalahkan dua calon ketua umum PSSI lainnya, Rahim Soekasah dan Arif Putra Wicaksono.

Iwan Bule meraih 82 suara dari total 85 suara voters. Di sisi lain Rahim dan Arif tidak mendapat suara. Adapun tiga suara lainnya abstain saat berlangsungnya pemungutan suara. Sementara satu suara lagi tidak ikut memilih alias walk out yakni perwakilan Persis Solo.

Sang Komisaris Jenderal Polisi akan melanjutkan tonggak kepengurusan PSSI setelah era Edy Rahmayadi yang terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2015-2019. Namun, Edy memutuskan mundur dari jabatannya tahun 2018 dan digantikan Joko Driyono sebagai Plt ketum.

Joko lantas digantikan Iwan Budianto karena yang bersangkutan tersangkut kasus perusakan barang bukti oleh Satgas Anti Mafia Bola.

Sebelum penghitungan suara dimulai, lima calon ketum PSSI diusir dari arena Kongres PSSI. Kelimanya adalah Vijaya Fitriyasa, Fary Djemy Francis, Yesayas Oktavianus, Sarman El-Hakim, dan Aven S. Hinelo.

Sedangkan Benny Erwin meski tidak diusir tetap memilih meninggalkan ruangan

Vijaya mengungkapkan alasan mereka meninggalkan ruangan Kongres PSSI karena diusir Sekjen PSSI Ratu Tisha setelah meminta penjelasan soal pelaksanaan kongres.

"Kami sebenarnya berharap di kongres dapat kejelasan. Tapi kami tidak dikasih kesempatan bicara, malah kami diminta untuk meninggalkan ruangan," ujar Vijaya kepada wartawan.

Dalam Kongres PSSI kali ini, Presiden FIFA Gianni Infantino juga turut memberikan sambutan lewat tayangan video.

"Kongres yang diselenggarakan hari ini adalah kongres yang sangat penting, dan kongres pemilihan merupakan kongres yang akan jadi fondasi untuk dapat melanjutkan apa yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhi. Kita perlu bekerja keras bersama untuk sepak bola Indonesia dan tentunya duniar," ujar Infantino.

Sementara itu, dalam pidato Menpora, Zainudin Amali, mengungkapkan kepedulian Presiden RI, Joko Widodo, terhadap dunia sepak bola Tanah Air.

"Presiden RI menyampaikan salam karena beliau tugas ke Bangkok dan Presiden FIFA ingin bertemu presiden kita di Bangkok, karena kita terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20," kata Zainudin Amali, Menpora.

Pernyataan ini menegaskan bahwa PSSI organisasi besar yang selalu jadi pusat perhatian banyak pihak.

Sosok Mochamad Iriawan tercatat sebagai Ketua Umum PSSI ke-20. Sejak awal berdiri, PSSI selalu menyajikan cerita menarik. Kursi kepemimpinan federasi jadi rebutan banyak orang dan selalu panas untuk diduduki.

Soeratin dan Semangat Perjuangan Mengusir Penjajah

Soeratin PSSI
Soeratin sedang memberikan pidatonya di Stadion Sriwedari, Solo, saat pembukaan kompetisi PSSI tahun 1943. (Repro Bola.com/Dok. Koran Pemandangan)

Sejarah mencatat Ketua Umum PSSI pertama adalah Soeratin Sosrosoegondo. Ketika itu PSSI pada 19 April 1930 dibentuk dengan tujuan awal sebagai propaganda untuk membangkitkan semangat nasionalisme pemuda dalam mengusir penjajah.

Soeratin lahir dari kalangan terpelajar. Ayahnya, R. Soesrosoegondo, guru pada Kweekschool (Sekolah Keguruan), menulis buku Bausastra Bahasa Jawi. Istrinya, R.A. Srie Woelan, adik kandung Dokter Soetomo, pendiri Budi Utomo.

Sekembalinya Soeratin dari Eropa pada 1928, ia bergabung dengan sebuah perusahaan konstruksi terkemuka milik Belanda dan membangun antara lain jembatan serta gedung di Tegal dan Bandung..

Namun, pada waktu bersamaan, Soeratin mulai merintis di pendirian sebuah organisasi sepak bola, yang bisa diwujudkan pada 1930. Organisasi boleh dikatakan realisasi konkret dari Sumpah Pemuda 1928 a. Nasionalisme itu dicoba dikembangkan melalui olahraga, khususnya sepak bola.

Seperti halnya ipar Soeratin, Dr Soetomo, yang berkeliling Pulau Jawa untuk menemui banyak tokoh dalam rangka menekankan pentingnya pendidikan dan kemudian disusul dengan pendirian Budi Utomo, Soeratin melakukan pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung.

Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID). Pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Istilah "sepakraga" diganti dengan "sepak bola" dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950.

PSSI kemudian melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931, dan ada instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus, jika bertanding melawan klub Belanda tidak boleh kalah. Soeratin menjadi ketua umum organisasi ini 11 kali berturut-turut. Setiap tahun ia terpilih kembali.

Kegiatan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin keluar dari perusahaan Belanda dan mendirikan usaha sendiri. Setelah Jepang menjajah Indonesia dan perang kemerdekaan terjadi, kehidupan Soeratin menjadi sangat sulit.

Rumahnya diobrak-abrik Belanda. Ia aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat letnan kolonel. Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api.

Jasanya dalam persepak bolaan nasional diabadikan dalam nama trofi yang diperebutkan dalam kompetisi sepak bola junior tingkat nasional, Piala Suratin.

Dominasi Jenderal TNI

[Bintang] 5 Fakta yang Membuat Ali Sadikin Dikenang Sepanjang Masa
Ali Sadikin. (Istimewa)

Selanjutnya, beberapa tokoh berturut-turut menjadi nakhoda PSSI. Setelah Artono Martosoewignyo, muncul sosok Maladi yang memimpin pada 1950-1959. Dia bahkan menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga.

Kemudian muncul Abdul Wahab Djojohadikoesoemo. Dan sosok eks mantan pemain mulai menjadi Ketua Umum. Yakni Maulwi Saelan (1964-1967). Dia pernah memperkuat Timnas Indonesia di era 1950-an.

Mantan pejabat negara pernah menjadi Ketum PSSI. Dia adalah Ali Sadikin pada 1977-1981. Ali sebelumnya menjabat Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora, dan Gubernur DKI Jakarta.

Berikutnya, ada Sjarnoebi Said yang memimpin PSSI pada 1982-1983. Lalu Kardono yang menjabat ketua umum pada 1983-1991. Di masa kepemimpinannya, Indonesia merebut medali emas di SEA Games 1987 dan 1991. Kardono juga merupakan presiden pertama AFF pada 1984-1994.

Era Kelam Politisi

Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid (Liputan6.com/Fauzan).
Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid (Liputan6.com/Fauzan).

Selanjutnya sejumlah politisi menjadi pemimpin PSSI. Mulai dari Azwar Anas menduduki kursi pemimpin PSSI selama delapan tahun, 1991-1999.

Di eranya, tepatnya 1994, diselenggarakan Liga Indonesia pertama, yang merupakan penggabungan dari dua kompetisi yang sebelumnya berjalan yakni Perserikatan dan Galatama. Azwar sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, Menteri Perhubungan, dan Menko Kesra.

Lalu ada Agum Gumelar. Dia sempat menjadi Menteri Perhubungan, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi. Setelah menjadi Ketua Umum PSSI, Agum kembali dipercaya sebagai Menkopolkam dan Menteri Perhubungan. Agum menjabat Ketum PSSI pada 1999-2003.

Kursi Agum di PSSI diteruskan Nurdin Halid. Era kepemimpinan sang politisi Partai Golkar itu banjir masalah. 

Di era Nurdin, 2003-2011, terjadi kisruh berupa dualisme kompetisi. Gerakan-gerakan yang meminta pria asal Makassar itu mundur mencuat mulai tahun 2010. Hal tersebut terjadi karena Nurdin Halid tersandung beberapa kasus korupsi, yang membuatnya sempat masuk bui.

Dualisme kompetisi terjadi setelah pengusaha, Arifin Panigoro, membuat breakaway league Liga Primer Indonesia untuk menyaingi kompetisi bentukan PSSI, Indonesia Super League.

Demo massa pecah pada 2011, menuntut NH mundur. Melihat situasi yang tak kondusif FIFA membentuk Komite Normalisasi yang dipimpin Agum Gumelar. PSSI pun diambil alih, sampai akhirnya pada Kongres Luar Biasa di Solo, Juli 2011, Djohar Arifin Husin terpilih menjadi ketua umum.

Kemudian dalam Kongres Luar Biasa PSSI yang digelar di Surabaya, 18 April 2015, La Nyalla Mattalitti terpilih sebagai Ketum PSSI menggantikan Djohar. Namun, kisruh kembali terjadi. Beberapa saat usai La Nyalla terpilih menjadi Ketum PSSI, PSSI dibekukan oleh pemerintah lewat Kemenpora. Sampai pada akhirnya PSSI dikenai sanksi FIFA. Saat dibekukan, pemerintah menggelar sejumlah turnamen untuk mengisi kekosongan kompetisi.

 

Edy Rahmayadi dan Kasus Match Fixing

Kongres PSSI, PSSI, Bola.com, Edy Rahmayadi, Kongres Tahunan PSSI
Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi saat mengikuti Kongres PSSI 2018 yang berlangsung di ICE BSD, Tangerang (13/1/2018). Salah satu agenda Kongres PSSI 2018 adalah revisi Statuta. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Setelah era gonjang-ganjing pembekuan FIFA, pada pemilihan Ketua Umum PSSI yang dilaksanakan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, pada 10 November 2016, Edy Rahmayadi terpilih sebagai ketua umum dengan total suara 76, Moeldoko 23 suara, dan Eddy Rumpoko 1 suara, dan 7 suara tidak sah.

Edy mengawali kariernya sebagai tentara dengan sekolah terlebih dahulu di Akademi Militer (Akmil) dan lulus pada 1985. Posisi pertama yang diembannya sebagai komandan bataliyon di Jajaran Kopasus TNI Angkatan Darat.

Sederet jabatan di dunia militer pun datang silih berganti pada dirinya. Sejak itu, ia banyak aktif di satuan Kostrad. Pria kelahiran Sabang, Aceh, 10 Maret 1961 ini pernah menjabat sebagai Dankipan B Yonif 323 Kostrad dan Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 100 Bukit Barisan.

Sebelum kenaikan pangkat dan jabatan pada satuan elit ini, Edy juga bertugas di beberapa daerah di Papua. Setelah itu, ia ditarik kembali ke Kostrad dengan menjadi Panglima Divisi Infanteri Kostrad pada tahun 2014. Kariernya pun terus naik.

Tak lama kemudian, pada 2015, ia mendapat tugas sebagai Panglima Kodam I/Bukit Barisan. Pada tahun yang sama, ia juga diminta kembali ke satuan Kostrad, namun kali ini ditunjuk sebagai orang nomor satu sebagai Panglima Kostrad.

Di tengah jabatan-jabatan strategisnya, Edy saat menjadi Pangdam Bukit Barisan terpanggil hatinya untuk membangkitkan kembali persepakbolaan tanah air yang saat itu sedang mengalami kevakuman karena konflik Menpora dengan PSSI yang menyebabkan pembekuan kegiatan sepakbola.

Pada saat itulah, Edy terjun langsung dalam usaha untuk membangkitkan PSMS hingga klub tersebut menjuarai Piala Kemerdekaan 2015. Perjuangan Edy untuk memajukan PSMS Medan belum berhenti. Ia juga mengusahakan agar klub itu dapat mengikuti Piala Jenderal Sudirman meski awalnya sempat mendapat penolakan.

Di dunia sepakbola, sosok Edy memang tidak terlalu menonjol. Perlahan nama Edy Rahmayadi pun mencuat ke permukaan persepakbolaan Indonesia setelah kelompok K-85 yang merupakan kumpulan dari 85 klub pemilik suara dalam kongres PSSI yang menginginkan rezim La Nyalla segera berakhir. Kelompok ini pulalah yang mencalonkan Eddy sebagai Ketua Umum PSSI.

Hanya saja Edy Rahmayadi tak menyelesaikan jabatannya sebagai nakhoda PSSI. Ia mundur usai Piala AFF 2016 dengan beralasan ingin fokus dengan tugas barunya sebagai Gubernur Sumatra Utara.

PSSI tengah dapat sorotan dengan mencuatnya aneka kasus pengaturan skor di pentas kompetisi. Mabes Polri sampai membentuk Satgas Antimafia Bola untuk mengusut aneka kasus match fixing.

Sepeninggal Edy, posisi orang nomor satu PSSI digantikan Joko Driyono dan Iwan Budianto. Nama pertama yang disebut lengser usai tersandung kasus penghilangan barang bukti pengaturan skor.

 

Daftar Ketua Umum PSSI

Guyuran Hujan dan Mobil Listrik Temani Timnas Indonesia Bertemu Jokowi
Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi dan Waketum PSSI, Djoko Driyono menggunakan mobil listrik sebelum bertemu Presiden RI, Joko Widodo di Istana Merdeka, (19/12/2016). (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)
  1. Soeratin Sosrosoegondo (1930-1940)
  2. Artono Martosoewignyo (1941-1949)
  3. Maladi (1950-1959)
  4. Abdul Wahab Djojohadikoesoemo (1960-1964)
  5. Maulwi Saelan (1964-1967)
  6. Kosasih Poerwanegara (1967-1974)
  7. Bardosono (1975-1977)
  8. Moehono (1977-1977)
  9. Ali Sadikin (1977-1981)
  10. Sjarnoebi Said (1982-1983)
  11. Kardono (1983-1991)
  12. Azwar Anas (1991-1999)
  13. Agum Gumelar (1999-2003)
  14. Nurdin Halid (2003-April 2011)
  15. Djohar Arifin Husin (Juli 2011-2015)
  16. La Nyalla Mattalitti (April 2015)
  17. Edy Rahmayadi (2016-2018)
  18. Joko Driyono (2019)
  19. Iwan Budianto (2019)
  20. Mochamad Iriawan (2019-...)

 

Disadur dari Bola.com (Penulis Ario Yosia, Published 02/11/2019)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya