Liputan6.com, Jakarta Foto Sukarno yang tampil gagah mengenakan peci, serta gambar Soeharto yang tersenyum sambil mengangkat tangan, bakal absen di alat peraga kampanye pemilu: spanduk, poster, maupun umbul-umbul. Pun dengan para pahlawan seperti Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman, bahkan hingga Gus Dur dan BJ Habibie.Â
Fakta:Â
Baca Juga
Aturan tersebut dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga penyelenggara pemilu itu melarang parpol atau calon memasang tokoh nasional dalam alat peraga kampanye.
Advertisement
Dalam Peraturan KPU (PKPU) No. 4 Tahun 2017, foto presiden dan wakil presiden juga dilarang dalam kampanye. Tak boleh ada yang memajang gambar Jokowi dan Jusuf Kalla.Â
Di sisi lain, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri masih boleh disandingkan dengan wajah para calon yang bertarung dalam kontestasi politik. Alasannya, kedua tokoh tersebut adalah pengurus partai.Â
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, ada alasan mengapa aturan tersebut harus ditegakkan. Sebab, tokoh-tokoh seperti Sukarno dan lainnya adalah para pendiri bangsa, pahlawan nasional, tokoh besar yang berjasa terhadap Indonesia.
"Tokoh itu milik semua rakyat. Kami membuat aturan itu dalam konteks menghormati pendiri bangsa, proklamator, pahlawan nasional, tokoh yang berjasa bagi negeri ini," kata Wahyu Setiawan di Gedung Bawaslu RI, Jl MH Thamrin, Selasa (27/2/2018).
Jika nantinya ada parpol atau kandidat yang ketahuan memasang foto tokoh yang dilarang, maka materi kampanye akan diturunkan dan diamankan Bawaslu setempat. "Tak semua sanksi sampai diskualifikasi," ucap dia.
Wahyu menjelaskan, aturan itu hanya berlaku untuk alat peraga kampanye, bahan kampanye, dan iklan kampanye yang difasilitasi KPU.Â
Sementara, untuk kepentingan internal parpol, pemasangan tokoh-tokoh nasional diperbolehkan karena memang tak ada peraturan yang dilanggar. Misalnya boleh saja memasang foto Bung Karno di kantor PDIP .
"Demikian juga tokoh lain yang dipajang parpol lain, enggak masalah sepanjang buat kegiatan internal parpol dan bukan yang difasilitasi KPU," kata dia.
Wahyu menjelaskan, meskipun nantinya alat peraga kampanye (APK), bahan dan iklan diproduksi sendiri, tetap harus dikomunikasikan dengan KPU. Tujuannya, agar sesuai ketentuan berlaku.
Dia mengatakan, pelarangan tersebut dalam konteksnya kampanye Pilkada 2018. KPU, kata dia, mendorong kampanye pilkada itu mestinya menjadi sarana untuk mengedukasi pemilih dengan menawarkan visi misi dan program.
Â
Berlaku di Pilkada 2018
"Peraturan ini sebenarnya sudah ada sejak Pilkada 2015 jadi ini bukan peraturan baru. Peraturan KPU sejak Pilkada 2015 tapi disahkan 2017," kata Wahyu. "Kenapa baru diperdebatkan sekarang?"
Sementara, untuk Pemilu 2019 aturannya bisa saja berbeda. Apalagi kampanye baru dimulai pada 23 September 2018. "Bisa jadi regulasinya akan berbeda," kata pria kelahiran Banjarnegara itu.
Wahyu menambahkan, peserta Pileg 2019 adalah parpol dan perseorang. Berbeda dengan pilkada, di mana yang bertarung adalah pasangan calon sehingga alat peraga kampanye difasilitasi KPU.
"Kalau pileg meskipun pesertanya parpol, kan ada caleg untuk DPR, DPRD. Tidak memungkinkan jika caleg difasilitasi APK atau bahan kampanye. Yang paling mungkin difasilitasi adalah parpol atau capres dan cawapres. Karena anggaran tak memungkinkan untuk fasilitasi sampai calon anggota DPR maupun DPRD," kata dia.
Wahyu menegaskan, konteks pelarangan saat ini untuk Pilkada 2018. "Pileg dan pilpres masih belum karena kita masih proses PKPU nya," kata dia.
Alumni Universitas Jenderal Soedirman itu mengatakan, sudah ada pembahasan PKPU kampanye Pileg dan Pilpres 2019. Draf aturannya juga sudah pernah diuji publik dan dikirimkan ke Komisi II DPR untuk dirapatkan dan dikonsultasikan.
Kesimpulan: BENAR
Â