Cek Fakta: Benarkah Tak Ada Penularan Covid-19 Saat Demonstrasi di Amerika Serikat?

Beredar klaim tidak ada penularan Covid-19 selama unjuk rasa di Amerika Serikat. Benarkah?

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 22 Jun 2020, 16:38 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2020, 16:38 WIB
Gambar Tangkapan Layar Ilustrasi Demonstrasi di Amerika Serikat
Gambar Tangkapan Layar Ilustrasi Demonstrasi di Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kematian George Flyod membuat warga Amerika Serikat berunjuk rasa. Mereka ramai-ramai turun ke jalan menuntut keadilan. Beberapa kota di Amerika Serikat sempat rusuh akibat unjuk rasa tersebut.

Terkait unjuk rasa tersebut, beredar klaim bahwa warga di Amerika Serikat tidak ada yang terkena Covid-19. Padahal, unjuk rasa tersebut melibatkan banyak orang. Klaim ini disebarkan akun Facebook Antii Bungkam Bali pada 20 Juni 2020.

"Sudah 2 Minggu Demo Di AS kok tidak ada yg kena Corona beritanya🙄 padahal ribuan orang turun ke jalan tanpa jaga jarak dan di Indonesia, "Bali" Beritanya Makin Di Seram²kan

#Conspiracy," tulis akun Facebook Antii Bungkam Bali.

Konten yang disebarkan akun Facebook Antii Bungkam Bali telah 3 ribu kali dibagikan dan mendapat 466 komentar warganet.

 

Penelusuran Fakta

Cek Fakta Liputan6.com menelusuri klaim yang menyebut bahwa tidak ada warga AS yang tertular Covid-19 karena unjuk rasa. Penelusuran dilakukan menggunakan situs pencari Google Search dengan memasukkan kata kunci "george floyd demonstration triggered transmission of the corona virus".

Hasilnya terdapat beberapa artikel yang menjelaskan mengenai potensi penularan Covid-19 di tengah demonstrasi di Amerik Serikat. Satu di antaranya artikel berjudul "Experts warn protests following George Floyd's death could trigger a second wave of coronavirus as thousands of people pack the streets of US cities" yang dimuat dailymail.co.uk pada 1 Juni 2020.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa sejumlah ahli memperingatakan unjuk rasa atas kematian George Floyd dapat memicu gelombang kedua virus corona di Amerika Serikat. Banyak demonstran terlihat mengabaikan pedoman jarak sosial (social distancing) dan tidak mengenakan masker.

Dr William Schaffner, seorang profesor kedokteran pencegahan dan penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center, mengatakan kepada dailymail.com ada beberapa alasan mengapa seseorang dapat terinfeksi saat unjuk rasa.

Di antaranya para demonstran tidak menjaga jarak sosial dan tidak mengenakan masker. Ia menambahkan bahwa banyak berteriak juga kemungkinan akan meningkatkan risiko penyebaran virus.

"Ada banyak teriakan dan orang-orang berlarian, yang merupakan aktivitas, yang akan membuat orang bernapas lebih dalam dan menghembuskan napas lebih banyak," kata Schaffner.

"Itu menempatkan kerumunan tersebut pada risiko yang lebih besar dan orang-orang itu dapat membawa virus pulang," kata Schaffner.

"Tidak ada keraguan bahwa kita khawatir bahwa ini dapat berkontribusi pada lonjakan infeksi yang meningkat di sana-sini."

Menurut Schaffner, kasus penularan Covid-19 secara masif pernah terjadi di Korea Selatan. Ketika itu, ada seorang wanita yang diduga positif Covid-19 menghadiri acara besar di gerejanya.

"Ada pertemuan besar-besaran di layanan keagamaan ini di mana jarak sosial tidak ditaati meskipun sudah direkomendasikan," katanya.

"Dan dia memang 'penyebar super' dan menyebarkannya ke banyak orang, menciptakan penularan masif Covid-19 pertama ke Korea Selatan."

Liputan6.com juga menemukan artikel yang menjelaskan mengenai kenaikan Kasus covid-19 di Amerika Serikat setelah unjuk rasa berlangsung. Adalah artikel berjudul "Have nationwide protests led to a spike in US coronavirus cases?" yang dimuat situs aljazeera.com pada 10 Juni 2020 lalu.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa lebih dari sepertiga dari 50 negara bagian Amerika Serikat mengalami peningkatan infeksi harian. Satu di antaranya kota Los Angeles. Terjadi lonjakan kasus dalam kurun waktu 26 Mei hingga 9 Juni 2020 sebanyak 18.100.

Dari 3.141 kota di Amerika Serikat, 1.421 kota di antaranya mengalami peningkatan kasus infeksi. Sedangkan 1.198 kota lainnya mengalami penurunan yang dilaporkan sama sejak Memorial Day pada 25 Mei dibandingkan dengan 15 hari sebelumnya.

Sementara, seperti dikutip dari artikel berjudul As coronavirus surges across South and West, Texas mayors plead with residents to wear masks yang dimuat situs The Washington Post pada 20 Juni 2020, CDC memprediksi angka kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat bisa mencapai 145 ribu pada 11 Juli 2020.

Itu berarti, sekitar 26 ribu warga Amerika Serikat diprediksi bisa kehilangan nyawa dalam beberapa pekan ke depan, meski belum dipastikan apakah peningkatan tersebut terkait dengan aksi unjuk rasa yang melanda AS. 

Kesimpulan

Klaim yang menyebut bahwa tidak ada warga AS yang tertular Covid-19 karena unjuk rasa ternyata tidak akurat. Sejumlah kota-kota di Amerika Serikat masih mengalami peningkatan jumlah kasus Covid-19 setelah aksi unjuk rasa besar-besaran. 

Dari 3.141 kota di Amerika Serikat, 1.421 kota di antaranya mengalami peningkatan kasus infeksi.

Banner Cek Fakta: Salah
Banner Cek Fakta: Salah (Liputan6.com/Triyasni)

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya