Edukasi Disinformasi Melalui Game "Harmony Square"

Cara baru mengedukasi masyarakat terkait berita palsu kian digencarkan, salah satunya melalui game.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Sep 2022, 20:00 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2022, 20:00 WIB
Ilustrasi Situs Web, Internet, Website. Kredit: FirmBee via Pixabay
Ilustrasi Situs Web, Internet, Website. Kredit: FirmBee via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Cara baru mengedukasi masyarakat terkait berita palsu kian digencarkan, salah satunya melalui game yang bernama “Harmony Square”. Game ini membuat pengguna seolah-olah merupakan seseorang yang membagikan hoaks dan berita palsu. 

Harmony Square merupakan game yang dibuat oleh para peneliti Cambridge University untuk meningkatkan resistensi orang terhadap disinformasi. “Apa yang kami pikir akan menarik adalah dengan cara membuat seseorang membuat berita palsu hasil mereka sendiri di lingkungan yang aman,” ujar Jon Roozenberk, Psikolog Universitas Cambridge, yang juga menjadi kepala peneliti proyek ini bersama dengan Psikolog Sander van der Linden. 

Konteks permainan ini mengarahkan pemain kepada sejumlah taktik untuk menyebarkan berita palsu. Pemain akan ditekan untuk memilih kata-kata yang menghasut seperti lie, corrupt, dan abuse dalam berita palsu yang disebarkan. 

Permainan ini kemudian mendorong pemain untuk membuat situs web yang mengklaim sebagai situs yang sah dengan tujuan untuk memproyeksikan bahwa laman situs memiliki berita yang kredibel. 

Hasil dari game ini bertumpu pada satu premis yakni, seseorang dapat menginokulasi orang lain terhadap berita palsu dengan mengekspos mereka kepada konten disinformasi yang jumlahnya sedikit terlebih dahulu, sama halnya dengan cara kerja vaksin yang bertujuan untuk menguatkan kekebalan.

Dengan mengekspos mereka pada segelintir konten, maka mereka akan tersadar sebelum terinfeksi dengan berita konspirasi yang jumlahnya lebih banyak. 

Adapun pesan inokulasi memperingatkan seseorang mengenai bujukan untuk mempercayai berita palsu yang membuat mereka menyadari bahwa mereka rentan terhadap bujukan tersebut. Hal tersebut karena otak dihadapkan dengan ancaman yang membuat mereka melindungi suatu keyakinan terhadap informasi tersebut.

“Begitu manusia dihadapkan pada ancaman, mereka akan termotivasi untuk memikirkan argumen tandingan yang mungkin diajukan oleh orang lain dan bagaimana cara meresponsnya,” ujar Josh Compton, Profesor Dartmouth University.

Hani Safanja/UPN Veteran Jakarta

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya