Masyarakat Indonesia Lebih Percaya Hoaks, Ini 5 Alasannya

5P tersebut adalah Pahlawan, Pengetahuan yang lemah, Pergaulan, Platform, dan Personalitas.

oleh Rida Rasidi diperbarui 31 Okt 2023, 14:00 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2023, 14:00 WIB
Talk Show Literasi Digital: Hati-Hati Berita Hoaks
Yosi Mokalu (Host), Loina Perangin-Angin (Presidium Litbang Mafindo), dan Devie Rahmawati (Pengamat Sosial Universitas Indonesia) dalam Talk Show Literasi Digital: Hati-Hati Berita Hoaks yang disiarkan di Youtube Literasi Digital Kominfo, Senin (30/10). (Liputan6.com / Rida Rasidi)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan lebih percaya kepada berita hoaks dibandingkan berita yang telah terverifikasi, kondisi ini menuntut kita untuk lebih selektif ketika menerima informasi sebelum mempercayainya.

Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menjelaskan alasan penyebab mayoritas masyarakat cenderung lebih percaya kepada berita hoaks dibandingkan berita yang telah terverifikasi dengan 5P.

P yang pertama adalah Pahlawan. Menurutnya, setiap orang selalu ingin menjadi pahlawan. Mereka memiliki niat yang baik, yaitu ingin membuat semua orang mengetahui informasi yang ia ketahui.

“Saya coba simpulkan, segala macamnya, itu sedikitnya ada 5P. P yang pertama itu Pahlawan. Semua orang itu pengen jadi pahlawan. Niat mereka baik. Misalnya nih, ada informasi bahwa besok kiamat. Nah mereka akan berpikir bahwa informasi itu penting untuk dibagikan supaya yang lain bisa antisipasi,” ujar Devie, dalam Talk Show Literasi Digital: Hati-Hati Berita Hoaks, yang ditayangkan di Platform Youtube Literasi Digital Kominfo, dikutip Selasa (31/10/2023).

Yang kedua adalah Pengetahuan yang lemah. Niat mereka yang baik tidak diiringi dengan pengetahuan yang mumpuni tentang sebuah informasi.

Belum lagi, Devie menambahkan, terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa begitu manusia merasa takut, ia tidak mau takut sendirian.

“Itu psikologi ya. Jadi, mereka begitu biar orang lain panik. Dia menikmati sekali karena jadi tidak sendirian lagi takut dan paniknya,” jelasnya.

P yang ketiga adalah Pergaulan terdekat, Devie menjelaskan jika mereka mendapatkan informasi dari orang yang mereka percayai atau memiliki titel yang hebat. Kepercayaan akan langsung meningkat. Padahal, bisa jadi orang yang mereka percayai tersebut memang membawa berita hoaks.

Keempat adalah Platform, berdasarkan penelitian yang dilakukan olehnya saat Covid-19 melanda. Masyarakat cenderung berpikir bahwa platform digital, seperti Facebook dan Instagram adalah jurnalis yang informasinya sudah pasti benar.

Terlebih, platform digital memiliki algoritma yang membuat penggunanya terus melakukan aktivitas tertentu. Hal ini membuat masyarakat terus-terusan menjadi penikmat, produsen, dan penyebar hoaks.

“Penelitian kami kecil-kecilan waktu covid menunjukkan orang-orang berpikir bahwa platform Facebook dan Instagram adalah jurnalis. Informasinya selalu benar. Ditambah lagi, platform itu menggerakkan kita pada aktivitas tertentu yang akhirnya mendorong kita terus-menerus menjadi penikmat, produsen, dan penyebar hoaks,” tambah Devie.

Kemudian, yang terakhir adalah Personalitas. Devie menyebutkan ada personalitas tertentu yang memiliki kecenderungan untuk lebih mudah membagikan segala sesuatu atau informasi yang ditemukan di internet.

Malas Verifikasi Jadi Alasan Hoaks Masih Marak di Media Sosial

Talk Show Literasi Digital: Hati-Hati Berita Hoaks
Loina Perangin-Angin (Presidium Litbang Mafindo) dalam Talk Show Literasi Digital: Hati-Hati Berita Hoaks yang disiarkan di Youtube Literasi Digital Kominfo, Senin (30/10). (Liputan6.com / Rida Rasidi)

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama,  Presidium Litbang Mafindo Loina Perangin-Angin, menyebutkan malas memverifikasi informasi menjadi salah satu alasan masih banyaknya hoaks yang beredar di media sosial.

Hasil penelitiannya pada tahun 2020 menunjukkan masih terdapat kecenderungan yang dimiliki masyarakat untuk mengaktualisasi diri tanpa melihat akurasi dari informasi tersebut.

“Jadi ada keinginan untuk aktualisasi diri. Menjadi orang pertama yang memviralkan begitu,” ujar Loina.

Selain itu, ia juga menyebutkan rasa tanggung jawab atas informasi dan pengetahuan orang lain menjadi alasan lain berita hoaks masih marak di media sosial.

“Ada 60 hingga 70 persen kecenderungan aktualisasi diri. Kemudian, sekitar 40 hingga 50 persen karena merasa itu bagian dari tanggung jawabnya dalam menyebarkan informasi,” jelas Loina menyimpulkan.

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya