Waspada Kejahatan Digital Merajalela, Masyarakat Perlu Melek Literasi

Kejahatan digital merajalela dengan modus yang beragam. Maka dari itu, masyarakat diimbau untuk melek literasi agar tak menjadi korban.

oleh Alifah Budihasanah diperbarui 08 Apr 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2024, 13:00 WIB
literasi digital
Ilustrasi literasi digital (ilustrasi: AI)

Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terdapat 1.730 konten penipuan online dari periode Agustus 2018 hingga 16 Februari 2023 dengan kerugian mencapai RP 18,7 triliun rupiah pada tahun 2017 hingga 2021.

"Kejahatan itu terjadi di mana-mana, termasuk di dunia digital. Fitnah ada di mana-mana, termasuk di dunia digital. Kekejaman ada di mana-mana, pun di dunia digital," ujar tokoh pers, Dahlan Iskan dilansir dari Antara, Minggu (7/4/2024).

Maka dari itu, Dahlan mengimbau, kepada masyarakat bahwa maraknya kejahatan di dunia digital perlu menjadi tanda untuk membangkitkan kewaspadaan diri dengan mengenali berbagai modus yang dilancarkan oleh pelaku penipuan online dan upaya melindungi data pribadi.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan menyebutkan jenis-jenis penipuan online yang seringkali terjadi di ruang digital, antara lain phising, pharming, sniffing, money smule, dan social engineering.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara webinar bertajuk “Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal” yang digelar beberapa waktu lalu.

Untuk menghindari hal ini, masyarakat didorong untuk terus menguatkan literasi dalam rangka menjaga keamanan di ruang digital. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah rutin mengganti kata sandi secara berkala. Hal lainnya yang juga penting tentunya adalah dengan memahami modus-modus yang sering dilancarkan oleh para pelaku.

Kenali Modus Penipuan Online

Ilustrasi penipuan online
Ilustrasi penipuan online. Kredit: Mohamed Hassan via Pixabay

Pertama adalah phising. Berdasarkan penjelasan Kominfo, tindakan ini biasanya dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, e-mail, atau pesan teks dengan tujuan menggali data pribadi korban.

Kedua adalah pharming. Ini adalah bentuk penipuan dengan modus mengarahkan korbannya menuju situs web palsu dengan tujuan mengakses perangkat korban secara ilegal. Biasanya pelaku menggunakan tipuan file dalam bentuk APK, PDF, foto buram, dan telepon arahan pencet tombol XYZ.

Modus ketiga yaitu sniffing. Umumnya pelaku mencoba meretas dengan mengakses WiFi umum yang ada di publik, khususnya apabila korban menggunakan jaringan tersebut untuk melakukan transaksi.

Modus selanjutnya adalah money smule. Di sini pelaku awalnya meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening yang nantinya akan ditransfer ke rekening orang lain. Namun, setelah itu korban justru diminta mengembalikan.

Terakhir adalah modus social engineering. Kominfo mewanti-wanti karena dalam modus ini umumnya masyarakat tidak sadar membagikan data yang seharusnya perlu dijaga. Dengan modus ini, pelaku umumnya mengambil kode OTP atau kata sandi karena sudah memahami kebiasaan korban.

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya