Hari Raya Ketupat, Islam Nusantara dan Maqashid Syariah

Dalam literatur hadist dan turast, Hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

oleh Liputan6 diperbarui 14 Jul 2016, 10:15 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2016, 10:15 WIB
Ketupat
Ketupat, jadi kudapan utama saat lebaran tiba panganan dari nasi yang dibungkus anyaman janur.

Liputan6.com, Jakarta Dalam literatur hadist dan turast, Hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, disebagian daerah di Nusantara ada sebuah tradisi yang unik yang tidak ditemukan di negara lain. Ya, Lebaran Hari Raya Ketupat hanya ada di Nusantara.

Bahkan, menurut penulis Lebaran Hari Raya Ketupat merupakan asli produk Islam Nusantara. Karena berdasarkan sejarahnya, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam di Nusantara sejak masa pemerintahan kerajaan Demak pada awal abad ke 15.

Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya dirayakannya lebaran Ketupat bertendensi dari hadist Rasulullah bahwa barang siapa yang berpuasa ramadhan dan enam hari di bulan syawal maka dia seperti berpuasa satu tahun. Dari hadist inilah, ulama nusantara memandang perlu mengadakan tasyakkuran setelah berpuasa ramadhan dan enam hari di bulan syawwal. Oleh karena itu, perayaan lebaran ketupat dilaksanakan pada hari ketujuh bulan syawal.

Pelaksanaan hari raya ketupat bukan dengan Shalat seperti hari raya idul fitri dan idul adha, tetapi dengan shadaqah estafet, setiap kepala keluarga membuat ketupat untuk dishadaqahkan kepada seluruh penduduk kampung.

Ketupat bukan hanya simbol dan sembarangan, tetapi memiliki Filosofi yang bermakna. Beikut komponen ketupat dan filosofinya; Kupat (Ngaku Lepat) yang bermakna mengaku bersalah. Janur (Jatining Nur) merupakan simbol hati nurani.

Beras menggambarkan nafsu duniawi. Anyaman Janur menjadi simbol kompleksitas masyarakat Nusantara yang harus dilekatkan dengan tali silaturrahmi. Bentuk Ketupat kiblat papat (mata angon) limo pancer (kiblat) yang melambangkan arah kiblat. Sehingga filosofi secara umum, ketupat menggambarkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

Hari Raya Ketupat mengandung juga nilai-nilai Maqashid Syariah. Pertama, Hifdzu al-Dzin, dengan adanya lebaran Ketupat, masyarakat menegakkan sendi-sendi keislaman dengan shadaqah dan silaturrahmi.

Kedua, Hifdzu al-Mal, dengan adanya lebaran ketupan secara tidak langsung menghidupkan perekonimian masyarakat. Ketiga, Hifdzu al-Nafs, lebaran ketupat menjadi momen berbagi, antara yang kaya dan miskin, sehingga yang miskin juga merasakan ketupat.

Keempat, Hifdzu al-Aql, dengan adanya nutrisi otak terjaga, sehingga secara tidak langsung memproteksi akal. Kelima Hifdzu al-Nasl, secara tidak langsung dengan mengkonsumsi ketupat maka dapat mengahsilkan hormon testosteron dan ovarium sehingga bagi yang sudah menikah dapat melangsungkan hubungan suami istri, dari hubungan tersebut merupakan esensi dari menjaga keturunan.

Di akhir tulisan, penulis akan mengutip perkataan Al-Afghani seorang ilmuan Arab yang berkata “al-Muhafadzah ‘ala al-Qadami al-Sholih wal akhdu bi al-jadid al-Ashlah”, lestarikan nilai lama yang baik, dan mengadopsi nilai yang baru yang lebih relevan. Oleh karena itu, mengingat Tradisi Hari Raya Ketupat semakin pudar, maka seharusnya kita terus melestarikannya, karena hari raya ketupat merupakan momen untuk meningkatkan shadaqah, mempererat silaturrahmi dan tentunya memiliki nilai-nilai Maqashid Syariah.

Penulis:

Muhammad Taufiq, Lc. M.Sy.

Pernah nyantri di PP Al-Falah dan Darul Lughah Pamekasan, Alumni Universitas Al-Ahgaff Yaman dan Pascasarjana Universitas Sunan Giri Surabaya.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya