Liputan6.com, Jakarta Bahasa sering kali digunakan sebagai media penguasaan sekaligus menyebarkan pengaruh. Mengapa? Bahasa dipandang menjadi media yang pas untuk memasukkan bahkan memaksakan pandangan konseptual, ide, nilai, doktrin penutur bahasa kepada petutur (pendengar). Ini mungkin saja terjadi pada presiden terpilih AS, Donald Trump.
Baca Juga
Advertisement
Meski terkesan angkuh, gemar mendiskreditkan kaum minoritas, rasis, Donald Trump berhasil meraih suara tertinggi dalam Pilpres AS. Ia mengalahkan Hillary Clinton, dengan raihan 278 electoral votes. Bagaimana Trump dengan segala gaya tuturnya yang "khas" bisa memenangi hati jutaan pemilih Amerika Serikat? Kecerdasan menggunakan bahasa mungkin salah satu kuncinya.
Sebuah analisis berbentuk video, yang dilansir dari digg.comanswer, mencoba mengupas bagaimana gaya berbahasa Trump dapat mempengaruhi rakyat AS. Video ini menganalisis salah satu wawancara televisi Donald Trump. Bagian yang dianalisis juga tidak begitu panjang, sekitar 1 menit 10 detik, tapi dirasa cukup untuk mewakili gaya berorasi yang digunakan sang Taipan.
Salah satu hal yang menarik dari Donald Trump adalah cara dia menggunakan bahasa dibanding politikus lainnya. Di saat politikus dan presiden terdahulu terlalu berhati-hati atas apa yang diucapkan, agar tidak menjadi senjata makan tuan di kemudian hari, hal yang sebaliknya justru dilakukan Trump.
Sebagai orang yang punya bakat alam sebagai “tukang jualan” dan nyaris seumur hidup menjadi salesman, Trump terbiasa menjual perasaan dan ide. Bisa jadi, strategi “tukang jualan” inilah yang ia gunakan dalam kampanye dan wawancara di media massa.
Dalam video tersebut, sang pewawancara memberi pertanyaan sederhana: Bukankah mendiskriminasikan orang berdasarkan agama sangat salah dan tidak mencirikan orang Amerika? Pertanyaan ini terkait dengan pernyataan Trump yang akan melarang umat muslim masuk AS jika ia terpilih menjadi presiden.
Berikut adalah transkrip jawaban Donald Trump.
Berdasarkan jawaban yang diberikan Trump, beberapa analisis linguistik terkuak. Menurut sang narator, bahasa yang digunakan Trump sangat sederhana. Dari 220 kata yang diujarkan, 172 kata atau 78 persen memiliki satu suku kata. Adapun 39 kata atau 17 persen memiliki 2 suku kata; 4 kata memiliki 3 suku kata; dan hanya 2 kata yang terdiri dari 4 suku kata.
Trump juga cenderung memilih konstruksi bahasa yang sederhana. Jarang sekali Trump menggunakan kalimat kompleks, alias memiliki induk kalimat dan anak kalimat. Ia juga gemar menggunakan kalimat yang cenderung mengomandoi atau memerintah, atau menggunakan kalimat sejenis yang secara tidak langsung. Kalimat semacam ini membuat mau tidak mau pendengar setuju dengan pernyataannya. Misalnya, Look at Paris, Look at what happened in Paris, dan Look at what happened in California last week?.
Trump juga kerap mengakhiri kalimatnya dengan kata yang memiliki “kekuatan”. Trump juga dikatakan sering menyusun kembali susunan kalimatnya demi mendapatkan akhir yang kuat dan berdaya. Misalnya, harm, dead, die, dan problem. Kata-kata yang berdaya dan kuat di akhir kalimatnya inilah yang akan terngiang dan selalu diingat oleh audiensnya, meski ketika pidato di awal tidak koheren. Salah satu contohnya adalah You cant’t solve a problem until you find out what the root cause is. Namun, dalam tuturan Trump, ia menggeser “is” agar kalimatnya memiliki kekuatan lebih: You cant’t solve a problem until you find out what’s the root cause. Strategi yang sama ia ulangi dalam And I wanna find out, what is the problem.
Dengan kata lain, Trump menanamkan pengaruh dan pemikirannya kepada calon pemilih dengan mengulang kata/hal/ide yang sama. Ia tidak perlu pidato yang berbelit, normatif, apalagi santun. Seperti seorang salesman sejati, Trump membuat pidatonya sederhana: membicarakan hal-hal yang ia sukai berulang-ulang. Tak hanya itu, Trump tahu kapan harus terlihat dapat dipercaya, kapan bertindak kuat, dan bahkan bersikap konyol.