Penelitian Terbaru, Racun Ular Sebagai Potensi Obat Alami untuk Darah Tinggi

Racun ular dan laba-laba, potensial obat tekanan darah, temuan ilmiah terbaru. Ular Amerika Selatan, lancehead pit viper Cotiara, mengandung bahan kimia yang menjanjikan. Studi di jurnal Biochimie membuka peluang obat alami tekanan darah tinggi.

oleh Azmi Muharrika diperbarui 19 Jan 2024, 13:21 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2024, 12:57 WIB
Manfaat Luar Biasa, Racun Ular Sebagai Potensi Obat Alami untuk Darah Tinggi
(Sumber: iNaturalist)

Liputan6.com, Jakarta Dari laporan Newsweek, beberapa jenis racun ular dan laba-laba selama ini kerap diidentifikasi sebagai ancaman serius bagi manusia, karena kemampuannya yang mematikan dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

Namun, temuan terbaru oleh para ilmuwan telah membuka sudut pandang yang lebih optimis terhadap potensi medis racun dari beberapa spesies ular. Secara khusus, racun yang berasal dari ular Amerika Selatan, lancehead pit viper Cotiara (Bothrops cotiara), mengejutkan peneliti dengan mengandung bahan kimia yang memiliki potensi untuk membantu menurunkan tekanan darah manusia.

Penelitian ini, yang hasilnya telah dipublikasikan dalam jurnal Biochimie, menggarisbawahi potensi baru dalam pengembangan obat. Meskipun racun ini memang memiliki efek mematikan pada makhluk hidup, fokus pada komponen kimia tertentu dalam racun tersebut membuka peluang untuk pengembangan terapi tekanan darah tinggi yang lebih efektif dan alami.

1. Sesuai Dosis yang Tepat

Sesuai Dosis yang Tepat
(Sumber: Dream.com)

Dalam dosis yang sesuai, protein racun ular Bothrops, seperti Bothrops cotiara, muncul sebagai calon yang potensial untuk dijadikan obat medis. Racun ini terkenal mengandung campuran enzim dan zat racun yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan, pembengkakan, rasa nyeri, dan efek sistemik, termasuk gangguan perdarahan, tekanan darah rendah, serta komplikasi lainnya.

Menurut Alexandre Tashima, seorang peneliti dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Federal São Paulo (EPM-UNIFESP), fragmen protein atau peptida dalam racun ular, terutama Bc-7a, memiliki kemiripan fungsional dengan protein yang membentuk obat penurun tekanan darah captopril.

Temuan ini membuka peluang untuk pengembangan terapi inovatif untuk tekanan darah tinggi, menyajikan alternatif yang berpotensi memberikan efek positif tanpa dampak negatif yang seringkali dikaitkan dengan racun ular. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang komponen-komponen khusus dalam racun tersebut, peneliti dapat mengarahkan usaha mereka untuk menciptakan terapi yang lebih efektif dan aman dalam penanganan tekanan darah tinggi.

Angiotensin-converting enzyme (ACE), yang penting dalam pengendalian tekanan darah dalam tubuh. “Kami mengamati (in vitro) bahwa peptida Bc-7a merupakan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE). Pada manusia, ACE penting dalam pengaturan tekanan darah karena menonaktifkan bradikinin, suatu peptida vasodilator, dan juga mengubah angiotensin. Saya menjadi angiotensin II, agen vasokonstriktor dan hipertensi yang kuat,” kata Tashima. 

“Namun, penting untuk dicatat bahwa kami tidak melakukan percobaan in vivo dalam penelitian ini, namun kami memiliki rencana untuk mengujinya pada model tikus dalam penelitian selanjutnya.”

2. Sebagai Pembuka Jalan Pengobatan Baru

Sebagai Pembuka Jalan Pengobatan Baru
(Sumber: The Reptile Database)

Penemuan ini dapat membuka jalan bagi bentuk-bentuk baru obat penghambat ACE yang dapat menurunkan tekanan darah, karena banyak obat yang tersedia saat ini menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan termasuk pusing, batuk, dan kadar kalium darah tinggi.

"Racun tidak pernah berhenti mengejutkan kita. Bahkan dengan begitu banyak pengetahuan yang terkumpul, penemuan baru masih mungkin terjadi, seperti fragmen tak terduga yang merupakan bagian dari protein yang diketahui. Terlepas dari semua teknologi yang tersedia, masih banyak yang harus dipelajari mengenai racun ini," Tashima mengatakan dalam sebuah pernyataan.

 

3. Penelitian Terbaru

Penelitian terbaru mencerminkan kemajuan pesat dalam mengidentifikasi protein dalam bisa ular, dengan 197 protein terdeteksi, di mana 189 di antaranya merupakan penemuan baru. Pertumbuhan ini sangat penting, terutama jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2012 di mana hanya 73 protein bisa ular yang dapat diidentifikasi.

Para peneliti menunjukkan bahwa lonjakan identifikasi ini dapat dicapai berkat kemajuan peralatan yang lebih canggih dan sensitif, membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut mengenai sifat dan manfaat potensial dari protein-protein tersebut.

Sebuah makalah terkini yang dikarang oleh Tashima membahas potensi bioteknologi dari bisa ular Amerika Selatan, terutama ular Lachesis muta. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Biochemical and Biophysical Research Communications berhasil mengidentifikasi 151 peptida dalam bisa ular, di mana 126 di antaranya sebelumnya belum diketahui.

Temuan ini menyoroti peluang besar dalam pengembangan teknologi bioteknologi baru yang dapat diterapkan dalam berbagai aplikasi, membuka jalan untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang sifat dan manfaat biologis dari beragam senyawa yang terkandung dalam bisa ular.

Secara khusus, protein Lm-10a juga merupakan penghambat ACE dan, oleh karena itu, mungkin juga berpotensi berguna dalam pengembangan pengobatan tekanan darah. “Bc-7a dan Lm-10a berasal dari fragmen racun hemoragik, dan merupakan peptida dengan struktur yang sangat berbeda dari BPP. Penelitian kami menunjukkan bahwa kelas peptida lain dalam bisa ular juga dapat menghambat aktivitas ACE. Penelitian menunjukkan bahwa racun ular adalah campuran racun yang telah disempurnakan selama jutaan tahun evolusi, dan mungkin telah mengembangkan banyak racun dengan fungsi serupa sebagai cara untuk menghindari pertahanan mangsa. Secara potensial, peptida seperti Bc-7a dan Lm-10a dapat menginspirasi agen antihipertensi generasi baru, "ucap Tasima.

Beberapa penelitian lain sebelumnya menemukan bahwa beberapa racun laba-laba mungkin juga mengandung senyawa yang bermanfaat secara medis. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian sebelum senyawa racun laba-laba atau ular ini digunakan dalam pengobatan. Tashima mencatat bahwa temuan ini menyoroti pentingnya menyelamatkan spesies dari kepunahan, karena mereka mungkin dapat memberi kita pengobatan yang belum diketahui untuk mengatasi masalah medis. 

“Meskipun ada kemajuan dalam teknologi pengurutan dan produksi data dalam jumlah besar dalam beberapa tahun terakhir, masih banyak yang harus ditemukan tentang peptida yang sangat luas dan peran biologisnya. Kita harus memanfaatkan keberuntungan kita untuk dapat mempelajari spesies ini, banyak di antaranya akan punah bahkan sebelum ditemukan,” kata Tashima.

Question and Answer

1. Berapa durasi dampak dari gigitan king kobra?

Menurut Livescience, gigitan king kobra dapat menimbulkan masalah penglihatan, muntah, kelemahan otot, bahkan kegagalan pernapasan. Tanda-tanda masalah neurologis dan neuromuskular biasanya timbul dalam waktu 15-30 menit setelah terjadinya gigitan.

2. Apakah ular hijau berisiko jika tergigit?

Ular hijau buntut merah termasuk jenis ular yang bersifat agresif dan cenderung mudah mengigit. Ular ini merupakan penyebab utama kasus gigitan ular di Indonesia, menyumbang sebanyak 50% dari total kasus. Sekitar 2,4% dari gigitan ini berakhir dengan fatalitas.

3. Bagaimana sensasi saat tergigit ular?

Gigitan ular terasa mirip dengan sengatan dengan sedikit atau tanpa memar dan bengkak. Gejalanya melibatkan perasaan bingung, pusing, kesulitan berbicara, serta kesulitan menelan dan bernapas.

4. Mengapa tidak dianjurkan mengikat area yang digigit ular?

Ini disebabkan karena racun atau bisa ular sebenarnya tidak masuk melalui pembuluh darah, melainkan melalui kelenjar getah bening. Oleh karena itu, tindakan seperti mengisap darah, mengikat terlalu kencang, atau memijat luka gigitan ular justru dapat mempermudah penyebaran racun ke bagian tubuh lain.

5. Bagaimana cara membedakan ular berbisa dan non-berbisa? P

Perbedaan utama antara ular berbisa dan yang tidak terletak pada bentuk kepala. Ular berbisa sering kali memiliki kepala berbentuk segitiga, sedangkan ular non-berbisa memiliki kepala yang lebih bulat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya