Standar HAM yang Tak Boleh Bertabrakan dengan Budaya Lokal

Mengangkat kearifan lokal sebagai produk karya adi luhung bangsa yang telah teruji untuk menjadi inspirasi dan rujukan penegakan HAM.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Des 2013, 14:16 WIB
Diterbitkan 11 Des 2013, 14:16 WIB
131210aham.jpg
Citizen6, Jakarta: Setahun sudah Deklarasi Hak Asasi Manusia Asean atau Asean Human Rights Declaration (AHRD) ditetapkan. Sebagai tindak lanjut dari implementasi dari AHRD, setiap negara anggota ASEAN saat ini melakukan penyusunan penerjemahan AHRD ke dalam bahasa nasional masing-masing.

Dalam hal penyusunan instrumen HAM yang bersifat mengikat, dan berbagai kontroversi mengenai AHRD, Indonesia perlu memfasilitasi dialog antara AICHR dengan masyarakat sipil/ Civil Society Organizations (CSO) dan Badan Sektoral ASEAN terkait, guna menentukan isu yang perlu difokuskan dalam instrumen dimaksud. Karena pada 2014, Indonesia akan memimpin peninjauan terhadap Kerangka Acuan AICHR sesuai dengan mandat 5 tahun AICHR.

AHRD dinilai oleh beberapa kalangan kontroversial karena dianggap tidak universal dan terlalu regional-sentris. AHRD juga dianggap rentan disalahgunakan oleh pemerintahan di ASEAN, karena akan digunakan sebagai legitimasi untuk mengelak dari kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM.

Bahkan disinyalir dapat melemahkan penegakan dan pelaksanaan HAM di wilayah Asia Tenggara, dalam klausul deklarasi tersebut dinyatakan bahwa hak-hak asasi akan dipertimbangkan dalam "konteks regional dan nasional, karakterisasi HAM individual sebagai bagian dari peri-hidup komunal (diistilahkan sebagai "HAM kolektif")".

Dan ketentuan lain yang mengatur supremasi hukum lokal terhadap HAM. Artinya, penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat bergantung pada kearifan lokal masing-masing negara ASEAN. Hal ini dianggap dinilai bertendensi mendukung konsep relativisme budaya. Selain itu, pembatasan yang disahkan secara kolektif dalam AHRD mengembangkan prinsip non interference (tidak mencampuri urusan nasional dalam negeri masing-masing).

Perbedaan konsep mengenai HAM sebenarnya memperkaya wacana dan kajian HAM yang berasal dari barat dan wacana HAM yang berasal dari timur, seperti umumnya negara-negara di Asia. Pada tataran yang ekstrem, muncul anggapan untuk menyudahi wacana HAM karena ia berasal dari "mereka", bukan "kita" (Muhtaj, 2009: 4). Itulah sebabnya mengapa AHRD ini dideklarasikan, sebagaimana Eropa, Amerika, dan Afrika yang telah memiliki piagam HAM. Demi menjaga kearifan lokal dan tradisi lokal yang ada di ASEAN, sehingga mampu mewarnai pola pikir, pola tindak, dan sikap sebagian besar negara-negara itu, termasuk dalam soal HAM.

AHRD mesti didudukkan sebagai produk Asia Tenggara, masyarakat timur, sehingga wajar apabila ada segi yang berbeda dengan pemahaman HAM menurut wacana Barat. Namun, deklarasi itu sesungguhnya selangkah lebih maju ketimbang instrumen-instrumen HAM sebelumnya, termasuk instrumen induknya, Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights, 1948). Deklarasi HAM ASEAN memuat hal-hal yang belum diatur dalam kerangka HAM internasional. Deklarasi itu mengatur soal kerjasama untuk menghindari penistaan agama, menjamin kebebasan beragama, dan mencegah praktik perdagangan manusia.

Kearifan lokal AHRD harus dihargai karena juga memiliki alasan filosofis teoritik yang berbeda dengan kalangan penganut HAM Universal. AHRD berangkat dari landasan filosofis relativisme budaya (cultural relativism). Konsep itu bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah produk dari lingkungan sosial, budaya, tradisi, dan peradaban tertentu. Kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral, sehingga HAM mesti dipahami dalam konteks budaya tiap-tiap negara. HAM itu bersifat kontekstual.

Teori relativisme budaya memperoleh banyak tentangan. Tentangan datang dari penganut teori hak kodrati dan universalisme, yang menganggap bahwa HAM itu terlepas dari nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat ataupun negara. Sehingga, HAM tidak membutuhkan pengakuan dari otoritas negara atau penguasa mana pun. Pandangan semacam itu dapat dilihat perwujudannya dalam pelbagai instrumen HAM (Bill of rights) di Inggris (1689), AS (1776), atau Prancis (1789).

Pertimbangan AHRD yang mengadopsi prinsip non interference bisa jadi merupakan penguatan dalam merawat hubungan di kawasan regional dan dalam rangka menjaga keseimbangan kedaulatan masing-masing negara yang ada di ASEAN. Meski demikian, sudah selayaknya Deklarasi HAM ASEAN diterjemahkan secara nyata ke dalam setiap regulasi di negara-negara ASEAN.

Memang sejak 2009 ASEAN membentuk Badan HAM ASEAN sampai ditandatanganinya AHRD belum ada kemajuan yang secara konkret dihasilkan. Sebagai contoh bagaimana kegagalan perlindungan HAM di beberapa negara anggota ASEAN, seperti Myanmar yang mengalami krisis politik dalam negeri dan ethnic cleansing terhadap etnis Muslim Rohingya di utara Rakhine Myanmar. Harapan agar Badan HAM ASEAN menjadi mekanisme kawasan atau regional penegakan HAM wajib dibuktikan.

Prinsip non interfence dan disparitas penghormatan HAM antar satu negara dengan negara ASEAN lainnya, harus menjadi kekuatan dan diimplementasikan secara nyata, objektif untuk membangkitkan harapan serta menepis berbagai keraguan akan AHRD. Dalam konteks Indonesia secara spesifik, Indonesia telah meratifikasi sebagian besar konvensi pokok HAM Internasional, yang merefleksikan standar HAM yang berlaku di Indonesia.

Adanya mekanisme pertanggungjawaban negara dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM dalam AHRD memberikan harapan baru bagi masyarakat di kawasan menuju pemenuhan HAM. Dengan mendukung AHRD Indonesia sebagai negara besar memiliki peran kunci harus memperjuangkan dipenuhinya standar HAM di dalam AHRD, menunjukkan teladan bagi negara anggota ASEAN dalam bidang HAM.

Dan sekali lagi, bahwa Indonesia telah berkomitmen terhadap penegakan HAM harus diapresiasi, hanya tinggal bagaimana penegakan HAM itu dapat bermanfaat bagi kepentingan nasional dan berefek pada kesejahteraan rakyatnya. Artinya pelaksanakan penegakan HAM di Indonesia harus berdampak pada membangun posisi tawar Indonesia terhadap segala kepentingan nasionalnya sehingga kredibilitas negara atau pemerintahannya dihormati oleh rakyatnya maupun bangsa lain.

Untuk itu hendaknnya kita harus tegas terhadap segala bentuk tawaran yang memang tidak berakar dan bahkan bertolak belakang dengan jati diri budaya bangsa kita, apalagi jika terdapat kepentingan busuk pihak lainnya yang ingin menghancurkan bangsa kita. Namun seiring dengan hal tersebut negara atau pemerintah juga tidak bisa berbuat sewenang-wenang dengan rakyatnya.

Marilah kita mengangkat kearifan lokal sebagai produk karya adi luhung bangsa yang telah teruji untuk menjadi inspirasi dan rujukan segala bidang kehidupan kita termasuk dalam penegakan HAM. (mar/Igw)

Penulis
Jaka Setiawan
(Alumnus Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia dan Analis serta Peneliti senior pada Forum Diskusi Pertahanan Sipil dan Kebangsaan)
Jakarta, dharmapxxxx@gmail.com

Disclaimer

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.




POPULER

Berita Terkini Selengkapnya