Penjelasan Dokter Anak Soal Imunisasi yang Sebabkan Autisme

Vaksinasi atau imunisasi adalah hal yang penting dilakukan pada anak sejak usia dini karena berfungsi untuk membangun kekebalan tubuh anak. Namun, vaksinasi sering dikira sebagai penyebab autisme.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Jul 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2020, 10:00 WIB
Pelayanan Imunisasi Anak Berjalan Kembali di Aceh
Petugas Kesehatan menyiapkan vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) untuk TBC di sebuah Pukesmas di Banda Aceh, Aceh, Senin (15/6/2020). Memasuki tatanan normal baru, pelayanan imunisasi anak kembali dibuka setelah sebelumnya sempat terhenti akibat pandemi COVID-19. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Vaksinasi atau imunisasi adalah hal yang penting dilakukan pada anak sejak usia dini karena berfungsi untuk membangun kekebalan tubuh anak. Namun, vaksinasi sering dikira sebagai penyebab autisme.

Menurut dokter spesialis anak RSPI Bintaro Jaya Caessar Pronocitro dugaan tersebut tentunya salah. Menurutnya, hoaks ini dipicu oleh penelitian seorang dokter bedah, Wakefield, yang hanya menggunakan 18 sampel di tahun 1998 dan kesalahan penelitian ini sudah dibongkar sejak 2011.

Wakefield menyangkutpautkan vaksin MMR atau vaksin yang digunakan untuk rubella dan campak dengan autisme karena vaksin tersebut diberikan pada saat anak berusia satu tahun. Di usia yang sama, gejala autisme pada anak baru terlihat.

“Berbagai penelitian lain yang lebih sahih dan melibatkan sampel jauh lebih besar membuktikan tidak ada kaitan vaksin MMR dengan autisme,” ujar Caessar dalam webminar vaksinasi RSPI Bintaro Jaya, Rabu (1/7/2020).

Simak Video Berikut Ini:

Pentingnya Vaksinasi

Vaksinasi sangat penting karena merupakan pencegahan primer penyakit dengan memasukkan antigen atau benda asing seperti virus atau bakteri yang dilemahkan ke dalam tubuh anak.

Komponen dari virus atau bakteri dimasukkan dengan tujuan memicu kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut. Selain itu, vaksinasi juga merupakan bentuk pencegahan penyakit paling efektif dan efisien sehingga telah diterapkan oleh semua negara di dunia.

Sistem kekebalan tubuh sendiri dibagi menjadi nonspesifik dan spesifik. Bedanya, nonspesifik tidak menarget antigen tertentu sedang sistem kekebalan spesifik memiliki target tertentu seperti antibodi anti-campak, antibodi anti-hepatitis B, dan lain-lain.

 “Kalau sistem kekebalan tubuh yang spesifik ini sudah terbentuk maka kinerjanya akan jauh lebih cepat dan efektif dalam mengatasi infeksi,” ujar Caessar.

Ia menganalogikan sistem kekebalan tubuh nonspesifik sebagai satpam yang bertugas menangkap atau mengamankan berbagai jenis penjahat mulai dari pencuri, perampok, dan lain-lain. Sedangkan kekebalan tubuh spesifik dianalogikan sebagai tim khusus yang menangani teroris.

“Masalahnya sistem kekebalan tubuh spesifik ini baru akan terbentuk kalau sistem kekebalan tubuh sudah pernah bertemu dengan antigen atau targetnya. Kalau belum pernah bertemu dengan targetnya maka sistem kekebalan tubuh yang spesifik belum bisa terbentuk.”

Hal tersebutlah yang menyebabkan perlunya vaksinasi untuk membentuk antibodi, tambahnya. Ia mencontohkan, jika anak sudah diberikan vaksin campak, maka sistem kekebalan tubuhnya sudah kenalan dengan virus campak.

“Maka jika lain kali kita terkena virus campak yang sesungguhnya maka sistem kekebalan tubuh spesifiknya dapat segera membentuk antibodi untuk melawan penyakit. Sehingga penyakit tidak jadi terbentuk dan menyerang. Atau kalau pun menyerang, maka gejalanya ringan.”

Apabila sistem kekebalan tubuh spesifik tidak membentuk respons cepat dan adekuat, infeksi dapat meluas atau bahkan mematikan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya