Selama 24 Tahun, Perempuan Ini Tak Sadar Otak Kecilnya Hilang

Hebatnya, pasien menjalani kehidupan normal selama lebih dari dua dekade, meski bagian penting dari otaknya hilang.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 15 Sep 2014, 11:19 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2014, 11:19 WIB
MRI pasien yang kehilangan otak kecil
MRI pasien yang kehilangan otak kecil (Feng Yu et al)

Liputan6.com, New York - Seorang perempuan berusia 24 tahun mendatangi dokter di China, dengan keluhan aneh: mual dan muntah dalam jangka waktu 1 bulan dan mengalami pusing di sepanjang hidupnya. Pasien juga mengaku, saat kecil ia baru bisa berjalan di usia 4 tahun dan tak bisa berjalan tegak dalam waktu lama. Ternyata itu semua berkaitan dengan otak.

Saat memindai otak perempuan tersebut, para dokter pun kaget. Mereka menemukan pasien tak memiliki cerebellum (otak kecil) -- bagian otak yang diyakini amat penting untuk berjalan dan melakukan gerakan lainnya. Hasil scan justru menemukan lubang besar yang berisi  cairan cerebrospinal.

"Pemindaian CT dan MRI menguak tak ada sisa-sisa apapun dari jaringan cerebellar, yang memverifikasi ketiadaan cerebellum," demikian tulis dokter dalam laporannya yang dimuat jurnal Brain, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Senin (15/9/2014).  Otak kecil normalnya terletak di bagian belakang kepala.

Cerebellum bertanggung jawab untuk koordinasi tubuh dan gerakan halus -- seperti gerak mulut dan lidah yang dibutuhkan untuk bicara. Penderita kerusakan area otak tersebut biasanya mengalami gangguan motorik.

Namun, kasus perempuan Tiongkok itu berbeda dengan perkiraan para dokter. Ketiadaan otak kecil pasien hanya mengakibatkan gangguan motorik ringan hingga sedang, juga pengucapan yang cadel.

Dengan kata lain, pasien menjalani kehidupan normal selama lebih dari dua dekade, meski bagian penting dari otaknya hilang.

Menurut para peneliti, itu adalah fenomena yang mengejutkan. Menunjukkan plastisitas atau kelenturan otak di awal kehidupan manusia.

"Ini menunjukkan bahwa otak muda cenderung lebih fleksibel dan mampu beradaptasi pada abnormalitas," kata Dr. Raj Narayan, kepala ahli syaraf dari North Shore University Hospital dan Long Island Jewish Medical Center, New York, yang tak terlibat dengan kasus perempuan China tersebut.

"Seseorang mengalami abnormalitas kehilangan bagian tertentu dari otak ketika dilahirkan atau saat masih kecil, sisa otak yang lainnya berusaha untuk melakukan rekoneksi atau mengompensasi ketiadaan tersebut," kata Narayan.

Namun, kemampuan luar biasa otak tersebut akan menurun seiring bertambahnya usia. "Saat menua, kemampuan otak untuk menoleransi kerusakan makin terbatas," kata Naraya. "Misalnya, pada orang berusia 60 tahun, jika kita mengeluarkan bagian otak kecilnya, niscaya itu akan sangat menganggunya."

Kasus seseorang kehilangan otak kecil di Tiongkok bukan yang pertama terjadi. Sudah ada 8 kasus lain yang dilaporkan, demikian ujar para peneliti. Kebanyakan melibatkan bayi atau anak-anak -- yang juga menunjukkan penurunan mental yang berat, epilepsi, juga kelainan struktur besar di otak mereka. Sebagian besar dari mereka tidak mampu bertahan dalam kondisi tersebut.

Ada kemungkinan banyak orang yang terpengaruh kondisi langka ini, hanya saja tak didiagnosis atau dilaporkan. "Di masa depan, kondisi seperti itu makin bisa dikenali dengan adanya pencitraan otak," tutur Naraya. (Tnt)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya