Liputan6.com, Massachusett - Sebelum bangsa Mesir mengenal mumi, masyarakat Chinchorro di Amerika Selatan telah mengenal pengawetan jenazah sejak 7.000-8.000 tahun lalu. Salah satunya, yang tersimpan di Chile. Masalahnya, jasad berusia 7.000 tahun lalu itu kini terancam akibat meningkatnya level kelembaban.
Padahal, udara yang lembab memungkinkan bakteri tumbuh. "Hal itu membuat 'kulit' mumi berubah menjadi hitam dan lembek mirip agar-agar atau gelatin," kata Ralph Mitchell, profesor emeritus biologi terapan di Harvard University, Cambridge, Massachusett, seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Selasa (10/3/2015).
Kemerosotan kondisi mumi dimulai sejak 10 tahun belakangan. Menimpa sekitar 120 mumi yang disimpan di museum arkeologi University of Tarapaca yang terletak di Kota Arica, Chile.
Awalnya, tak jelas mengapa sejumlah mumi terdegradasi menjadi kehitaman. Maka, ahli dari Chile meminta Mitchell dan para koleganya untuk memeriksa mikroflora atau bakteri yang terkandung pada mumi.
Hasil pengujian menunjukkan, bakteri pembusuh bukan berasal dari organisme kuno. Melainkan, bakteri 'modern' yang secara normal hidup pada kulit manusia. Mitchell menyebut bakteri tersebut 'oportunistis', sebab, selama suhu dan kelembaban yang tepat tercapai, mereka mulai menggunakan kulit sebagai pasokan nutrisinya.
Dalam eksperimennya, Mitchell dan timnya menyesuaikan tingkat kelembaban dari kering menjadi lembab, untuk melihat efek masing-masing kelembaban terhadap kulit mumi -- yang saat pengujian diwakili kulit babi.
Kelembaban di kawasan museum belakangan meningkat. Normalnya, Arica gersang karena terletak dekat Gurun Atacama, salah gurun terkering di Bumi.
Iklim yang berubah di Chile mungkin menjelaskan mengapa mumi-mumi tersebut mengalami kemerosotan kondisi. Demikian ujar Marcela Sepulveda, profesor arkeologi di University of Tarapacá.
Mereka menemukan, kulit mulai rusak pada hari ke-21 pada kelembaban yang tinggi. Untuk menyelamatkan para mumi, museum harus menjaga kelembaban ruangan di mana jasad-jasad yang terawetkan itu disimpan, antara 40-60 persen.
"Kelembaban yang lebih tinggi dapat menyebabkan lebih banyak degradasi, sebaliknya, kelembaban yang lebih rendah bisa merusak kulit mumi," kata Mitchell.
Sebelumnya, tak pernah ada hujan di wilayah gurun dalam waktu 400 tahun. "Namun, 1 dekade belakangan kabut datang dari Pasifik, mungkin akibat perubahan iklim," tambah dia.
Upaya untuk melestarikan mumi sedang dilakukan. Peneliti museum mengukur dan menyesuaikan kelembaban, suhu dan cahaya di ruangan tempat mumi disimpan.
Chinchorro adalah kelompok pemburu dan peramu yang tinggal di sepanjang pantai yang kini berada di wilayah Chile dan Peru. Mereka biasa mengawetkan mumi dari semua tingkat sosial.
Usia mumi Chinchorro setidaknya 2.000 tahun lebih tua dari mumi Mesir. Penanggalan radiokarbon menunjukkan mumi termuda dibuat pada 5050 SM. "Menjadikannya mumi buatan manusia tertua di dunia, kata Mitchell. Beberapa jasad manusia yang lebih tua mungkin telah dimumifikasi oleh alam, secara alami.
Advertisement
Dan menariknya, kata Mitchell, mumi Chinchorro tak seperti pengawetan jenazah di Mesir. "Bukan hanya raja, tapi juga orang-orang biasa." (Ein/Tnt)