Liputan6.com, Calabria - Hari masih siang, jarum jam menunjuk ke pukul 13.00, 5 Februari 1783. Tanpa aba-aba, Bumi mendadak berguncang hebat. Kekuatan gempa mencapai 7,5 hingga 8 skala Richter. Hanya dalam 1 menit, 100 desa hancur lebur, beberapa di antaranya bahkan rata dengan tanah. Tak ada apapun yang tegak berdiri, tiada manusia yang selamat. Lindu dahsyat juga membelah tanah. Jurang sepanjang 1 mil (1,6 km), dengan kedalaman 100 kaki (30,4 meter) terbentuk tiba-tiba.Â
Baca Juga
Retak-retak muncul di sana sini, salah satunya bahkan 'menelan' kawanan yang terdiri dari 100 kambing. "Dua pegunungan yang terletak di sisi berlawanan, yang dipisahkan lembah, bergerak dari posisi semula, hingga bertemu di tengah-tengah dataran, bergabung menjadi satu, mencegat aliran sungai," demikian penuturan saksi mata seperti dikutip dari situs History.com.Sementara itu di Scilla, ratusan orang yang selamat dari gempa lari ke wilayah pantai, mencari perlindungan. Sama sekali tak sadar bahwa sejatinya mereka mendekati bahaya. Tengah malam, gempa kedua mengguncang. Kali itu ia memicu tsunami -- yang menenggelamkan sebagian besar dari mereka.
Baca Juga
5 November 2021: Insiden Berdesakan Mematikan di Festival Astroworld Rapper Travis Scott, 10 Orang Tewas
4 November 1993: Pesawat Boeing 747-400 China Airlines Tergelincir ke Pelabuhan Victoria Hong Kong Saat Mendarat
3 November 1918: Pemberontakan Kiel Picu Kaisar Jerman Turun Takhta dan Lahirnya Republik Weimar
Advertisement
Gelombang raksasa juga menewaskan ribuan orang di Reggio di Calabria dan Messina -- kota yang saling berhadapan, yang dibelah selat antara wilayah Calabria dan Sisilia. Kesengsaraan terus berlanjut di Italia selatan dan Sisilia, di tengah musim dingin yang belum lagi beranjak. Dengan persediaan bahan pangan yang menipis, mereka yang masih bernyawa terancam kelaparan. Tak sampai di situ. Lindu kembali mengguncang pada 28 Maret 1783, menewaskan 2.000 manusia. Akibat gempa yang mengguncang hingga 5 kali, juga dampaknya, total 80 ribu manusia tamat. Pietro Colleta, sejarawan Neapolitan terkemuka menulis kesaksiannya dalam Storia del Reame di Napoli -- sejarah Kerajaan Naples. "Tak ada yang bertahan dalam bentuk aslinya: tanah, kota, jalanan, segala jejak binasa...Hasil bentukan alam dan kerja keras manusia, yang dibangun selama berabad-abad...hancur seketika," kata dia seperti dikutip dalam situs naplesldm.com.
Calabria -- tempat indah yang terletak di bagian 'tumit' dalam peta Italia yang mirip bentuk sepatu -- memang kerap dikunjungi bencana: gempa bumi, erupsi gunung berapi, juga gelombang pasang.
Selama beratus-ratus tahun, ribuan penduduknya tewas karenanya. Dua gunung yang berada dekat Calabria -- Stromboli dan Etna -- membuat tanah di sana tak stabil dan jadi sasaran lindu. Belum lagi ia berada di antara lempeng Eropa dan Afrika yang aktif di Italia selatan. Selain gempa mematikan di Calabria, sejumlah peristiwa penting terjadi pada 5 Februari. Pada tahun 62 Masehi, gempa mengguncang Pompeii, kota makmur dan megah di kaki Gunung Vesuvius, Italia. Tak diketahui pasti apakah ada korban manusia kala itu. Namun, ratusan domba ditemukan mati secara misterius. Tak ada yang tahu kenapa. Kota dicekam horor dan ketidakpastian. Dan ternyata, itu ibarat 'pertanda' malapetaka yang lebih besar: 17 tahun kemudian, pada 24 Agustus 79, letusan katastropik Vesuvius menghapus Pompeii dari peta.
Sementara, pada 1974, putri jutawan Patty Hearst diculik. Dia adalah korban penculikan yang bersimpati dan lantas memilih bergabung dengan komplotan penculiknya. Menjadi contoh dari fenomena 'Stockholm Syndrome'.
Dan, pada tahun 1971, Apollo 14 mendarat di Bulan. Dua astronotnya berjalan di permukaan satelit bumi itu. Sementara, pada 5 Februari 1952, New York mengadopsi lampu lalu lintas 3 warna -- merah, kuning, hijau.