Liputan6.com, New York - Ada perbedaan pola pikir antara pria dan perempuan. Kebanyakan hal-hal yang diketahui tentang otak kaum Adam didasarkan kepada penelitian pada laki-laki berusia 18 hingga 22 tahun, yaitu para mahasiswa yang ikut dalam eksperimen demi mendapat uang jajan tambahan atau karena menjadi syarat suatu mata kuliah.
Padahal, seperti dikutip dari situs sains LiveScience pada Rabu (16/11/2016), otak kaum pria menjadi sangat berbeda sepanjang rentang hidupnya. Artikel dalam situs sains tersebut juga membantah gambaran tentang laki-laki sebagai makhluk pecandu seks yang selama ini beredar di masyarakat.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Dirangkum dari buku "Male Brain" (Broadway, March 2010) tulisan Dr. Louann Brizendine, berikut ini adalah sejumlah pandangan salah kaprah tentang cara pikir kaum pria, termasuk keinginan mereka untuk selalu menjadi berandalan:
1. Nyaman Dalam Pernikahan
Kaum wanita ingin hidup tenang dan kaum pria selalu ingin bertualang, demikianlah yang diduga selama ini. Tapi ini adalah pemahaman paling salah kaprah karena menggunakan mahasiswa dan mahasiswi sebagai penjawab survei.
Penelitian di Bolivia yang hasilnya diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society pada 2007 mengungkapkan bahwa perselingkuhan biasanya muncul sebelum pria mencapai usia 30 tahun. Sesudah itu, kaum pria utamanya fokus pada keluarganya.
Tentu saja ada beberapa pria yang lebih bermasalah dengan komitmen, tapi masalah itu kemungkinan terkait genetik, demikian menurut penelitian pada 2008 yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Science.
Diduga, sekitar 60 persen kaum pria tidak memiliki "gen perselingkuhan" dan lebih berkemungkinan menikah. Tapi itu belum semua. Pria demikian dan istrinya secara relatif lebih berkemungkinan mengalami pernikahan yang bahagia, demikian menurut temuan penelitian.
Sayangnya, seperti kata pimpinan penelitian Hasse Walum dari Karolinska Institute di Swedia, kaitannya hanya sedikit, sehingga “Orang tidak bisa menggunakan hal itu untuk memilah-milah calon pasangan.”
2. Berlomba Jadi Bos
Hirarki yang tidak stabil dapat menyebabkan kaum pria cemas, demikian menurut Brizendine. Sementara itu, rantai komando yang mapan, misalnya seperti dalam militer dan banyak tempat kerja, menurunkan testosteron dan mengekang agresi kaum pria.
Kasak-kusuk untuk menetapkan tingkatan, yang biasanya dimulai di usia 6 tahun, menjadi motivasi "saling timpa, di mana mereka selalu saling menjatuhkan," imbuh Brezandine. "Lebih baik agresif secara verbal daripada berkelahi."
3. Calon Ayah
Otak kaum pria secara khusus dipersiapkan untuk bekerja sama sejak beberapa bulan sebelum menjadi seorang ayah.
Calon ayah mengalami perubahan hormon, misalnya prolaktin meningkat dan testosteron menurun, sehingga berkemungkinan mendukung perilaku kebapakan, demikian temuan penelitian pada 2000 dalam jurnal Evolution and Human Behavior.
Feromon (aroma tubuh) wanita hamil dapat mencapai pasangannya sehingga mendorong perubahan-perubahan tersebut, kata Brizendine, yang tidak ikut dalam penelitian.
Bahkan sebelum masa kehamilan pasangan, feromon lelaki menyebabkan neuron ibu-baik bergiat dalam otak kaum wanita, demikian temuan 2008 dalam penelitian yang terbit dalam jurnal Hormones and Behavior.
4. Kematangan Otak Kaum Pria
Selama kelangsungan evolusi, kaum pria perlu bersaing untuk status dan pasangan ketika muda dan menekankan kepada ikatan dan kerjasama setelah dewasa, demikian menurut Mehta.
Kaum pria sepertinya sepakat tentang itu. Sejumlah penelitian psikologis menunjukkan bahwa menjadi jagoan tunggal tidak terlalu menarik bagi kaum pria yang lebih berumur. Sebaliknya, mereka lebih memperhatikan hubungan dan perbaikan masyarakat, kata Brizendine.
Perubahan itu kemungkinan terbantu oleh penurunan alamiah testosteron secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia pria.
Mehta dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa kaum pria yang tinggi kadar testosteronnya cenderung lebih baik dalam pertandingan satu-lawan-satu, sedangkan mereka yang kadarnya lebih rendah malah melejit dalam kompetisi yang memerlukan kerjasama. Penelitian itu diterbitkan dalam jurnal Hormones and Behavior pada 2009.
5. Canda Seorang Ayah
Cara bermain yang khas seorang ayah dengan anak-anaknya dapat membantu anak-anak belajar dengan lebih baik. Sedikit lebih kasar, lebih spontan, lebih menggoda.
Anak juga lebih percaya diri dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi dunia nyata, demikian menurut beberapa penelitian.
Bukan hanya itu, ayah yang terlibat memperkecil perilaku seksual berisiko pada anak-anaknya.
Kaum ayah yang secara aktif mengasuh cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih rendah, demikian menurut beberapa penelitian lintas budaya.
Belum diketahui apakah kadar hormon menentukan perilaku itu ataukah sebaliknya, tapi para peneliti berteori bahwa evolusi lebih ramah kepada para ayah yang terlibat.
Anak-anak manusia tergolong sebagai yang paling banyak kebutuhan, sehingga kaum ayah yang baik memungkinkan keturunan -- dan tentunya gen --mereka menyintas.
6. Lebih Galak
"Bicara secara evolusi, bagian dari tugas kaum pria adalah untuk mempertahankan pendirian," kata Brizendine.
Diperlukan lebih banyak penelitian pada manusia, tapi, pada mamalia jantan lain, wilayah otak untuk "mempertahankan pendirian" lebih besar dibandingkan wilayah otak yang sama pada kaum betinanya, demikian menurut Brezandine.
Tentu saja kaum wanita juga memiliki rasa kepemilikan, tapi kaum pria lebih berkemungkinan menjadi galak ketika dihadapkan pada ancaman terhadap orang yang dicintai ataupun wilayahnya, demikian dilanjutkan Brezandine.
7. Mengamati Wanita
Walau kerap dikaitkan dengan agresi dan permusuhan, testosteron juga adalah hormon bagi syahwat (libido). Kaum pria memiliki hormon itu rata-rata 6 kali lebih banyak dibandingkan kaum wanita, kata Pranjal Mehta, ahli psikologi sosial di Columbia University, New York.
Mehta dan kawan-kawan mengungkapkan bahwa testosteron mengganggu kawasan pengendalian dorongan pada otak.
Menurut Brezandine, walaupun masih harus diteliti, hal ini menjelaskan mengapa pria'memeriksa' kaum wanita seakan secara otomatis. Mereka melupakan wanita itu setelah berada di luar bidang pandangnya, kata Brizendine.
8. Fokus Pada Solusi
Banyak penelitian yang menengarai bahwa kaum wanita lebih berempati daripada kaum pria, tapi Dr. Brizendine menegaskan bahwa hal itu tidak seluruhnya benar.
Sistem empati dalam otak pria memberi tanggapan ketika ada orang sedang stres atau menyatakan ada masalah, tapi wilayah otak untuk mencari perbaikan segera mengambil alih.
"Daerah tersebut pada otak langsung mencari ke seluruh otak untuk muncul dengan suatu solusi," kata Brizendine.
Hasilnya, kaum pria cenderung lebih memikirkan memperbaiki masalahnya daripada menunjukkan solidaritas dalam berbela rasa.
9. Lebih Rentan Kesepian
Kesepian dapat berakibat buruk kepada kesehatan dan otak setiap orang, tapi kaum pria lanjut usia secara khusus tampak lebih rentan, demikian menurut Dr. Louann Brizendine, profesor psikologi klinis di University of California di San Francisco sekaligus penulis buku "The Male Brain" (Broadway, March 2010).
Dibandingkan dengan kaum wanita, kaum pria cenderung lebih sedikit merengkuh ke luar, sehingga memperparah rasa kesepian maupun akibatnya terhadap sirkuit sosial pada otak.
Secara khusus, hidup bersama dengan kaum wanita dapat membantu. Kaum pria dalam hubungan yang stabil cenderung lebih sehat, berusia lebih panjang, dan memiliki kadar hormon yang menunjukkan penurunan kecemasan, demikian menurut sejumlah penelitian.
Kaum wanita juga baik bagi testis pria. Dalam penelitian, tikus-tikus jantan yang tinggal bersama dengan tikus-tikus betina tetap subur lebih lama daripada tikus-tikus jantan yang terkucil, demikian menurut penelitian terbitan Biology of Reproduction pada 2009.
10. Lebih Emosional
Kaum wanita biasanya dipandang lebih emosional, tapi temuan penelitian mengungkapkan bahwa balita lelaki lebih reaktif dan ekspresif secara emosional dibandingkan dengan balita perempuan.
Kaum pria dewasa pun memiliki reaksi emosional yang sedikit lebih kuat, tapi hanya sebelum mereka menyadari perasaan mereka sendiri, demikian menurut terbitan 2008 dalam Scandinavian Journal of Psychology yang memantau ekspresi wajah pria secara dekat.
Segera setelah emosi itu tiba pada kesadaran diri, kaum pria kemudian memasang wajah tipuan.
Ketika masih kecil, anak lelaki kemungkinan belajar menyembunyikan emosi dalam budaya yang menganggap hal demikian "kurang jantan". Tapi, membungkam emosi juga memicu tanggapan "tarung atau lari".
Reaksi kuat seorang pria dan pembungkaman yang mengikutinya mungkin adalah ekspresi mempersiapkannya untuk menangani ancaman, demikian teori penelitian pada 2008 oleh Lund University, Swedia.