Dikalahkan Eks Satpam, Diktator Gambia 'Ngotot' Berkuasa

Jammeh yang telah memerintah Gambia selama 22 tahun kalah dari Barrow yang merupakan seorang pengusaha properti.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Des 2016, 11:15 WIB
Diterbitkan 21 Des 2016, 11:15 WIB
Yahya Jammeh telah memerintah Gambia selama 22 tahun
Yahya Jammeh telah memerintah Gambia selama 22 tahun (Reuters)

Liputan6.com, Banjul - Presiden Gambia, Yahya Jammeh menegaskan tidak akan mundur meski dirinya dinyatakan kalah dalam pemilu. Ia mengutuk upaya para pemimpin Afrika Barat untuk memaksanya menyerahkan kekuasaan kepada rivalnya, Adama Barrow.

"Saya bukan pengecut. Hak saya tidak bisa diintimidasi dan dilanggar. Ini posisi saya. Tidak ada yang bisa menghalangi saya atas kemenangan kecuali Tuhan," kata Jammeh menanggapi desakan untuk menyerahkan kekuasaan di akhir mandatnya pada 18 Januari mendatang seperti dilansir The Guardian, Rabu (21/12/2016).

"Pertemuan ECOWAS--masyarakat ekonomi negara-negara Afrika Barat--adalah formalitas. Sebelum mereka datang, mereka sudah mengatakan Jammeh harus mundur. Tapi saya tidak akan mundur," imbuhnya.

Jammeh pada awalnya menerima hasil pemilu 1 Desember yang oleh Afrika dilihat sebagai sebuah harapan baru bagi Gambia. Karena selama 22 tahun memimpin, sejumlah kelompok pengamat HAM menuding Jammeh melakukan penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap lawan politiknya.

Namun pada 9 Desember, sikap Jammeh berubah. Ia menggugat hasil pemilu yang dianggapnya penuh dengan penyimpangan.

Sementara itu, Juru bicara koalisi oposisi yang mendukung presiden terpilih mengatakan, pihaknya tak akan menuntut Jammeh meninggalkan kantor presiden.

"ECOWAS ingin tahu apakah pemerintahan berikutnya akan menuntut Presiden Yahya Jammeh. Tidak ada indikasi ke sana, baik upaya tuntutan atau mengancam dia," kata Halifa Sallah.

"Presiden terpilih, Barrow mengatakan, dia akan memperlakukan Presiden Yahya Jammeh layaknya seorang eks kepala negara. Dia akan berkonsultasi dengannya untuk meminta saran," tambah Sallah.

Pada Selasa lalu, Presiden Prancis, Francois Hollande turut mengomentari kekisruhan politik yang terjadi di Gambia. Ia mengatakan hasil pemilu 1 Desember "tidak dapat dinafikan" dan Barrow "harus dilantik sesegera mungkin".

"Masalahnya tidak dapat dirundingkan," kata Hollande setelah bertemu dengan Presiden Senegal, Macky Sall di Paris.

Pekan lalu, ECOWAS menyatakan bahwa Jammeh harus mundur ketika masa jabatannya habis. Mereka bersumpah akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menegakkan hasil pemungutan suara tanpa merinci langkah apa yang akan diambil.

Adama Barrow merupakan nama yang cukup baru di perpolitikan Gambia. Dirinya lahir di sebuah desa kecil di dekat Kota Basse pada tahun 1965.

Pada awal 2000-an, Barrow memutuskan pindah ke London. Di Ibu kota Inggris tersebut ia bekerja sebagai satpam di supermarket Argos.

Ia kembali ke Gambia pada 2006. Sejak saat itu hingga sekarang, Barrow membangun bisnis propertinya.

Pada 2016, Barrow memberanikan diri melawan Jammeh di Pemilu Gambia. Dengan sokongan 6 partai oposisi, akhirnya pria 51 tahun tersebut berhasil mengalahkan Jammeh.

Semenjak berkuasa di Gambia melalui suatu kudeta pada 1994, Presiden Jammeh memerintah negeri dengan tangan besi disertai sikap sikap represif dan diduga tak segan untuk menginisiasi suatu pembunuhan.

Pemimpin yang minta dipanggil sebagai "Yang Mulia" ini diketahui pernah menembaki para pengunjuk rasa damai.

Ia bahkan pernah mengeluarkan tuntutan kepada para homoseksual agar meninggalkan negara itu dalam waktu 24 jam atau dipenggal.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya