Liputan6.com, Melbourne - Melbourne kembali menunjukkan kepada dunia sebagai kota multikultur yang memberikan apresiasi kepada para seniman, yang berasal dari negara-negara tetangganya di kawasan Asia Pasifik.
Sejumlah seniman asal Indonesia mendapatkan kehormatan, untuk bisa tampil dalam festival berkelas dunia yang sudah dimulai sejak awal tahun 2016 lalu.
Baca Juga
Salah satunya dalam pameran seni visual Political Acts, Asia Topa yang dibuka pada Jumat 10 Februari 2017. Digelar hingga bulan April mendatang.
Advertisement
Asia Topa adalah festival seni dan budaya yang menghadirkan seniman-seniman kontemporer dari Asia dan diselenggarakan setiap tiga tahun di Melbourne, Australia.
Pameran ini menampilkan seni visual kontemporer dari tujuh seniman asal Asia Tenggara, termasuk dua di antaranya berasal dari Indonesia, yakni Dadang Christanto dan Melati Suryodarmo. Para seniman mencoba memotret dan menyampaikan masalah sosial, politik, dan lingkungan yang dihadapi negara asal mereka.
"Saya mencoba menyatukannya lewat visual, dengan warna-warna yang kontras dari setiap seniman," ujar Dr Steven Tonkin, kurator Arts Centre Melbourne kepada Erwin Renaldi dari ABC Australia Plus yang dikutip Liputan6.com Sabtu (11/2/2017).
Dr Tonkin mengatakan, beberapa seniman yang ditampilkan memiliki kesamaan dan di antaranya pernah sama-sama menampilkan karyanya sebelumnya.
"Saya menemukan banyak seniman di Asia yang melibatkan tubuh atau keberadaan fisik dalam karya mereka dan ini juga yang ingin saya tampilkan dalam pameran ini."
"Yang saya anggap menarik soal seniman-seniman ini adalah karya mereka sangat menakjubkan dan di saat yang sama mencoba menyampaikan beragam topik yang berhubungan dengan keadaan saat ini... dan memiliki keterkaitan terhadap kami di Australia," jelas Dr Tonkin.
Dalam Political Acts, seniman dari Tanah Air, Dadang Christanto menampilkan dua karya yakni 'Lorong Pembantaian' dan 'Sikat Gigi'.
'Sikat Gigi' adalah penampilan visual dimana Dadang tampil menyikat giginya dengan busa berwarna merah. Penampilan ini pertama kali dibuat pada tahun 1981, saat Dadang pernah menjadi aktor di Bengkel Teater di Yogyakarta.
Dadang bercerita, awalnya interpretasi sikat gigi sebagai hal parodi yang mengolok-olok para 'yuppie' atau istilah bagi eksekutif muda di tahun 80-90an dengan pasta gigi berupa selai buah berry.
Tapi interpretasi dari pertunjukkan ini telah berubah.
"Sikat gigi ini dianggap sebagai tindak displin kekerasan. Rezim fasis bisa bekerja efektif, jika ada disiplin... dan displin kekerasan fisik ini berupa teror," jelas Dadang yang lahir di Tegal 60 tahun lalu.
"Jadi yang saya akan peragakan adalah sikat gigi sebagai suatu disiplin yang setiap hari kita lakukan, dan itu persis seperti teror yang dilakukan (pemerintahan) fasis untuk sebuah kekerasan, di mana masyarakat itu menjadi diteror dan patuh pada disiplin," ujarnya saat ditemui Erwin Renaldi di Arts Centre Melbourne.
Sementara 'Lorong Pembantaian' adalah karya yang dibuat Dadang pada tahun 2015 dan pertama kali ditampilkan di Adelaide.
Kali ini lorong diubah menjadi dalam bentuk 'U'. Bagian dinding, atap dan lantai menampilkan ratusan gambar kepala berukuran kecil yang dibuat Dadang dalam waktu enam bulan.
"Tentang pembantaian 1965... masuk ke sini, audiens akan merasakan pernah adanya tindak kekerasan di Indonesia," ujar lulusan Institut Kesenian Yogyakarta yang pindah ke Australia di tahun 1999.
Karya Perempuan
Melati Suryodarmo, seniman asal Surakarta yang kini tinggal Jerman, menampilkan karya visual 'Sweet Dreams Sweet' yang dibuat pada tahun 2013. Karya visualnya menampilkan sekelompok perempuan yang seluruh tubuhnya ditutup kain berwarna putih untuk menyembunyikan identitasnya.
Dalam karyanya ini Melati seolah ingin mempertanyakan dampak dari hegemoni, atau bentuk penguasaan politik dan budaya kelompok tertentu terhadap pluralitas bangsa Indonesia saat ini.
Karya lain Melati yang ditampilkan adalah 'I'm a ghost in my own house' yang juga pernah ditampilkan pada tahun 2015 di festival seni kontemporer Asia Pasifik di Brisbane.
Panggung untuk Seniman RI
Sejumlah seniman-seniman asal Indonesia lainnya akan juga turut tampil di acara Asia Topa, atau Triennial of Performing Arts, yang akan digelar hingga bulan awal April 2017 di berbagai galeri dan teater di Melbourne.
Setan Jawa karya Garin Nugroho juga akan dipentaskan di Hammer Hall, Arts Centre Melbourne pada 24 Februari, berkolaborasi dengan Melbourne Symphony Orchestra.
Seniman Eko Susanto akan menampilkan dua tarian yang menampilkan para pemuda dan pemudi asal Indonesia timur, yakni 'Cry Jailolo' dan 'Balabala' di awal bulan Maret mendatang.
Iswadi Pratama, sastrawan asal Lampung akan berkolaborasi dengan penulis asal Darwin, Sandra Thibodeaux dengan menampilkan karya teater 'Jaman Belulang', yang inti ceritanya terinspirasi dari kisah nyata anaka-anak Indonesia yang pernah dipenjara di Australia karena bekerja untuk perahu yang membawa pencari suaka.
Salah satu cerita dalam dongeng Sunda, 'Jamarun', pun tak ketinggalan akan ditampilkan oleh Sahlan Mujtaba dalam karya teatrikal 'The Light Within a Night'. Penampilan itu akan berkolaborasi dengan mahasiswa La Trobe University di Melbourne dan seniman yang tergabung bersama Mainteater Bandung.
Misteri di bawah alam laut akan ditampilkan dalam bentuk wayang dan musik oleh kelompok teater 'Papermoon Puppet Theatre' di Yogyakarta dan 'Polyglot Theatre' di Melbourne dalam pertunjukan 'Child's Story'.
Seniman asal Bandung, Tisna Sanjaya akan menampilkan seni instalasinya yang akan menampilkan kolaborasi pertunjukan di State Library of Victoria, Melbourne, setelah terinspirasi dengan hasil penelusurannya di dalam perpustakaan yang menjadi kebanggaan warga kota Melbourne tersebut.
Sementara musisi grup musik Senyawa, Rully Shabara dan Wukir Suryadi akan menampilkan musik metal dengan tarian arahan koreografer asal Melbourne, Lucy Guerin dan Gideon Obarzanek.
Saksikan juga video rangkuman berita berbahasa Inggris berikut ini:
Advertisement