Karya atau Duplikasi? Ketika Kecerdasan Buatan Menantang Kreativitas Seniman

Diskusi di Taman Ismail Marzuki menyoroti berbagai tantangan yang muncul akibat pemanfaatan AI dalam dunia seni, termasuk potensi pelanggaran hak cipta, kolonialisasi data, risiko bias, hingga dampaknya terhadap kesenjangan sosial.

oleh Tim Health Diperbarui 11 Mar 2025, 18:38 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2025, 18:21 WIB
Diskusi “Hak Cipta dan Filosofi AI"
Tiga pembicara dalam diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki. Ki-ka: Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria; Penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi; Pengacara Hak Cipta Dimaz Prayudha. (Foto: Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pertanyaan muncul seiring semakin berkembangnya teknologi AI yang kini mampu menciptakan berbagai bentuk seni, dari ilustrasi hingga musik. Diantaranya, apakah produk seni hasil perintah atau prompt kecerdasan buatan (AI) bisa disebut sebagai karya seni, hingga bagaimana dengan hak cipta?

Untuk membahas isu tersebut, sejumlah seniman, pekerja kreatif, akademisi, dan praktisi hukum berkumpul dalam diskusi bertajuk “Hak Cipta dan Filosofi AI" yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada Jumat malam, 7 Maret 2025.

Diskusi ini menyoroti berbagai tantangan yang muncul akibat pemanfaatan AI dalam dunia seni, termasuk potensi pelanggaran hak cipta, kolonialisasi data, risiko bias, hingga dampaknya terhadap kesenjangan sosial.

"Ada sisi-sisi yang tidak dipertimbangkan. Dan itu kenapa sebesar apa pun saya sebagai peneliti menyukai kecerdasan buatan, kita memang harus tetap skeptis dan bersikap kritis pada kecerdasan buatan. Jangan langsung jatuh pada kekaguman dan ketakjuban, bahwa mesin ini bisa melakukan apa pun yang kita bayangkan, padahal mesin-mesin ini masih penuh dengan bias," kata penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi.

Isu Data yang Diperoleh Tanpa Izin

Saras menyoroti bagaimana AI sering kali dikembangkan dengan menggunakan data yang diperoleh tanpa izin dari para kreator asli. Isu ini menjadi perhatian utama bagi banyak seniman yang merasa karya mereka telah dimanfaatkan tanpa penghargaan yang layak.

 

Promosi 1

AI Mendukung Kreativitas Seniman

Namun, di tengah kekhawatiran yang berkembang, beberapa seniman justru melihat AI sebagai alat yang dapat mendukung kreativitas mereka. Salah satunya adalah Jemana Murti, seorang seniman dari Bali yang berhasil memanfaatkan AI dalam proses kreatifnya.

Namun, di tengah kekhawatiran yang berkembang, beberapa seniman justru melihat AI sebagai alat yang dapat mendukung kreativitas mereka. Salah satunya adalah Jemana Murti, seorang seniman dari Bali yang berhasil memanfaatkan AI dalam proses kreatifnya.

“Jemana mampu menjadikan AI sebagai mitra,” ungkap Saras dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Jakarta Poetry Slam dan Kongsi 8.

 

Kegelisahan Seniman

Meski demikian, banyak seniman tetap merasa cemas bahwa AI akan menggantikan peran manusia dalam dunia seni. Kekhawatiran ini juga disinggung oleh Riri Satria, dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Menurutnya, AI hanya akan menggantikan manusia ketika kualitas berpikir manusia rendah.

“Begitu juga sebaliknya. Jika manusia terus mengembangkan kreativitas dan pemikiran kritisnya, maka AI hanya akan menjadi alat bantu, bukan pengganti,” kata Riri. Ia juga mendorong para seniman untuk terus berkarya dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

“Selain itu, jika punya kegelisahan, suarakanlah. Nanti dia akan menemukan gaungnya sendiri,” tambahnya.

 

Hasil AI Belum Bisa Menandingi Kompleksitas Karya Manusia

Di sisi lain, Saras menekankan bahwa hingga saat ini produk seni yang dihasilkan AI masih jauh dari kompleksitas karya manusia.

“Apalagi di sastra. Puisinya kering. Tapi ini sekarang ya. Meski sebenarnya tidak ada karya yang benar-benar individual. Karya saya terpantik oleh karya orang lain. Oleh karena itu, karya itu kecerdasan kolektif yang diramu. Tapi paling tidak, sekarang ini kita bisa tidur tenang,” ujarnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa perkembangan teknologi AI sulit diprediksi. Tidak ada yang bisa memastikan sejauh mana AI akan berkembang dalam satu dekade ke depan, terutama karena kompleksitas AI dirancang untuk meniru pola berpikir manusia.

 

Hak Cipta Dalam Penggunaan AI Masih Jadi Tantangan Besar

Di sisi hukum, permasalahan hak cipta dalam penggunaan AI generatif masih menjadi tantangan besar. Dimaz Prayudha, pengacara hak cipta, mengakui bahwa sulit bagi pengguna untuk mengontrol apakah karya yang dihasilkan AI telah melanggar hak cipta atau tidak.

“Bagaimana cara mengontrol ciptaan tersebut agar tidak melanggar hak cipta? Karena ada ribuan data yang digunakan di dalamnya. Jika untuk lagu, misalnya, ada batasan 8 bar. Kalau bukan lagu bagaimana? Lukisan? Enggak bisa. Susah,” ujar Dimaz.

Namun, ada celah hukum bagi seniman yang ingin melindungi karyanya. Jika seorang seniman telah secara tegas menolak karyanya digunakan untuk melatih AI, ia memiliki dasar hukum untuk menuntut pengguna (prompter) dan perusahaan AI yang melanggar.

"Yang bisa ditarik sebagai pihak yang digugat pertama adalah si pengguna mesin AI (pemberi instruksi atau prompt), dan yang kedua adalah perusahaan AI itu sendiri karena menciptakan mesin yang memungkinkan pengambilan karya ini terjadi,” jelas Dimaz.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya