Liputan6.com, Seoul - Nama Park Geun-hye akan tercatat dalam sejarah, setidaknya dalam dua hal: ia adalah perempuan pertama yang jadi presiden Korea Selatan, sekaligus pemimpin mula-mula yang dilengserkan di tengah masa jabatan.
Dua hari setelah resmi dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi Korsel, Park meninggalkan istana kepresidenan atau Blue House pada Minggu 12 Maret 2017 dalam iring-iringan mobil hitam.
Advertisement
Dengan keputusan mahkamah, perempuan 65 tahun itu kehilangan status kebal hukum yang sebelumnya disandangnya sebagai presiden -- ia berpotensi dituntut bahkan dipenjarakan atas skandal korupsi yang melibatkan orang kepercayaannya.
Sikap diamnya akhirnya pecah saat tiba di rumah pribadinya di Distrik Gangnam, Seoul, meski lewat juru bicaranya.
"Saya minta maaf karena tak bisa menyelesaikan mandat yang diberikan pada saya sebagai presiden," kata anggota parlemen Min Kyung-wooka, juru bicara Presiden Park, seperti dikutip dari Guardian, Senin (13/3/2017).
"Akan butuh waktu, namun saya yakin, kebenaran akan terungkap."
Baca Juga
Meski menerima dampak dari skandal yang memuncak dengan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Jumat lalu, yang menguatkan putusan pemakzulan oleh parlemen atas skandal yang menggegerkan elite politik dan bisnis, Park selalu membantah melakukan kesalahan.
"Saya bertanggung jawab atas hasil dari semua ini," kata Min, menyampaikan pernyataan sikap Park Geun-hye.
Pasca-lengsernya Park, pemilu presiden selanjutnya akan digelar pada 9 Mei 2017. Politisi liberal, Moon Jae-in digadang-gadang jadi pemimpin berikutnya. Ia berjanji akan bekerja demi keadilan dan akal sehat.
"Kita masih harus melalui jalan panjang. Untuk mewujudkan keadilan dan akal sehat di negara ini melalui perubahan rezim," kata Moon.
Moon sebelumya mengkritik dua presiden dari kubu konservatif, Park Geun-hye dan pendahulunya Lee Myung-bak yang menghentikan kemajuan perbaikan hubungan antar-dua Korea yang digagas pemerintahan liberal sebelumnya.
Minggu kemarin, Moon juga menekankan kebutuhan untuk "merangkul dan bersatu dengan rakyat Korea Utara", meski mengaku tak bakal pernah bisa menerima rezim diktatorial yang mengabaikan hak asasi manusia di Pyongyang.
Ia yang menyebut pihak Utara 'kejam dan bengis' pasca-pembunuhan Kim Jong-nam di Malaysia belakangan sedikit melunak.
Dalam konferensi pers kemarin, ia mengatakan, tak ada pilihan bagi pihak Korsel, kecuali mengakui Kim Jong-un sebagai pemimpin Korut.
"Kita tak bisa mengabaikan bahwa pemimpin Korut adalah Kim Jong-un," kata Moon. "Kita tak punya pilihan selain mengakuinya sebagai mitra -- saat menekan, menjatuhkan sanksi, atau berdialog dengan Korut."
Moon, yang berlatar belakang pengacara hak asasi manusia, menuntut Park Geun-hye untuk menerima putusan Mahkamah Konstitusi yang melengserkannya. Putri Presiden ke-3 Korsel, Park Chung-hee itu juga diminta tak menghancurkan atau memindahkan dokumen apapun saat meninggalkan Blue House.
Pamor Park Geun-hye meredup setelah orang kepercayaannya, Choi Soon-sil dan dua asisten -- Ahn Jong-beom dan Jeong Ho-seong terjerat skandal.
Choi Soon-sil disebut ikut campur tangan dalam urusan negara maupun kehidupan pribadi sang presiden, seperti baju yang sebaiknya dikenakan.
Choi juga didakwa menekan perusahaan-perusahaan Korea Selatan untuk memberi sumbangan senilai US$60 juta lebih ke yayasan-yayasan yang dipimpinnya.
Tuntutan mundur tersebut disampaikan oleh warga Korea Selatan dalam bentuk protes selama berminggu-minggu di Seoul.
Gelombang demonstrasi tercatat sebagai protes terbesar sejak demonstrasi prodemokrasi tahun 1980-an.
Â