AS dan Australia Boikot Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir

AS dan Australia menentang negosiasi perjanjian senjata nuklir yang dilakukan 113 negara di Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Mar 2017, 11:02 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2017, 11:02 WIB
Misil David's Sling, senjata nuklir milik Israel
Uji coba peluncuran sistem misil David's Sling, senjata nuklir milik Israel. (AP)

Liputan6.com, Canberra - Negosiasi perjanjian pelarangan senjata nuklir telah dimulai di Sekretariat PBB, New York, Amerika Serikat minggu ini. Namun, pemerintah AS tak setuju dengan rencana perjanjian tersebut.

Bersama 40 negara lain, AS memimpin koalisi negara-negara, yang berusaha memboikot pembentukan perjanjian itu. Australia menjadi salah satu bagian dari koalisi tersebut.

Di kubu lain, ada 113 negara yang menjadi bagian negosiasi bersama PBB. Tujuan agenda tersebut adalah; "membuat instrumen legal-formal untuk sepenuhnya melarang pengembangan dan penggunaan teknologi senjata nuklir".

Duta besar AS untuk PBB, Nikki Haley--yang baru ditunjuk Donald Trump pada Januari 2017 lalu--menyatakan bahwa dunia akan menjadi tidak aman bagi AS tanpa kehadiran teknologi senjata nuklir.

"Aku seorang ibu, seorang istri, seorang anak. Aku selalu memikirkan keluarga. Tugas kita (pemerintah AS) adalah untuk melindungi bangsa dan negara kita. Untuk membuatnya aman dan damai," dalih Nikki Haley.

"Aku setuju dengan agenda pelarangan tersebut. Namun jujur saja, di masa ketika seluruh negara telah memiliki teknologi senjata nuklir, aku tak bisa membiarkan negara-negara jahat diam-diam tetap memilikinya, sementara kami (AS dan koalisinya) yang memiliki tugas menjaga perdamaian dituntut untuk tidak menggunakannya," ujar Nikki Haley.

Sikap serupa juga diungkapkan oleh perwakilan negara Perancis dan Inggris. Mereka menegaskan tidak akan melucuti penggunaan senjata nuklir.

Negosiasi pembuatan perjanjian pelarangan penggunaan senjata nuklir telah berlangsung selama bertahun-tahun. Namun hingga kini dirasa belum efektif, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat ada 123 negara yang telah memilih setuju untuk pembuatan negosiasi itu.

Faktor utama ketidakefektifan perumusan negosiasi perjanjian pelarangan senjata nuklir tersebut disebabkan oleh boikot dari negara-negara adidaya--seperti AS, Tiongkok, Rusia, Perancis, Inggris--yang tentu saja memiliki persenjataan nuklir. Mereka turut didukung negara-negara pemilik senjata nuklir lain seperti India, Pakistan, Israel, dan Australia.

Australia juga merupakan salah satu negara yang sangat vokal menentang negosiasi perjanjian tersebut.

Selama berbulan-bulan, Australia telah melobi beberapa negara untuk mengurangi stok persenjataan nuklir hingga 15,000 unit tanpa berniat untuk menghilangkan penggunaannya.

Australia konsisten untuk tetap mempertahankan persenjataan nuklir yang dimilikinya dan bersedia tunduk di bawah naungan payung regulasi penggunaan senjata nuklir yang dibuat oleh Amerika Serikat, negara dengan stok persenjataan nuklir kedua terbesar di dunia. Regulasi tersebut intinya berisi tentang tujuan penggunaan senjata nuklir sebagai bentuk penggentarjeraan.

Namun, seperti yang dilansir The Guardian, Selasa, (28/3/2017), sentimen politik pemerintah Australia cenderung menyetujui negosiasi perjanjian pelarangan senjata nuklir.

Senat Australia mengajukan mosi pada hari Senin 27 Maret kemarin untuk menekan pemerintah Australia agar turut terlibat secara konstruktif pada negosiasi tersebut. Hasil poling lembaga survey Ipsos di Australia menunjukkan bahwa tiga per empat publik Australia menginginkan pemerintah untuk ikut serta menjadi bagian negosiasi.

Mosi tersebut digerakkan dan dipimpin oleh Senator Lisa Singh dari Labor Party. Ia berargumen bahwa Australia memiliki obligasi moral dan legal untuk berpartisipasi pada upaya negosiasi.

Senator James McGrath, asisten perdana menteri Australia menyatakan posisi dilematis Australia pada negosiasi tersebut. Ia mengakui bahwa Australia memiliki obligasi untuk menjaga perdamaian dan membebaskan dunia dari ancaman senjata nuklir.

"Namun, negosiasi tersebut belum tentu efektif untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan persenjatan nuklir yang ada di seluruh dunia (...) atau bahkan menjamin perdamaian dunia secara keseluruhan. Perjanjian tersebut cenderung akan menimbulkan kondisi ambiguitas dan kebingungan diantara negara-negara dunia, baik yang memiliki atau tidak memiliki persenjataan nuklir," ujar James McGrath.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Gem Romuld, kordinator International Campaign to Abolish Nuclear Weapon. Ia menjelaskan bahwa perjanjian-perjanjian serupa dianggap tak begitu efektif dalam mengurangi atau membatasi perkembangan persenjataan nuklir dan senjata pemusnah massal lain. Romuld berpendapat bahwa negara-negara seperti Australia harus tegas menentukan arah kebijakannya terkait persenjataan nuklir.

Pemerhati dan komunitas anti-persenjataan nuklir menilai bahwa negosiasi perjanjian tersebut akan kembali tidak efektif apabila negara-negara adidaya pemilik senjata nuklir tetap bersikukuh menolak.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya