Liputan6.com, Jakarta - Pada 26 Maret 1957, enam negara Eropa Barat yaitu Belgia, Prancis, Italia, Luxembourg, Belanda, dan Jerman Barat, menandatangani Perjanjian Roma (Treaty of Rome), suatu perjanjian internasional yang menjadi landasan Komunitas Ekonomi Eropa (European Economic Community, EEC). Perjanjian itu sendiri baru diberlakukan pada 1 Januari 1958.
Perjanjian yang nama resminya adalah Treaty establishing the European Economic Community (TEEC) itu mengajukan pengurangan progresif bea masuk dan pembentukan kesatuan kepabeanan, demikian juga niat untuk menciptakan pasar tunggal bagi barang, tenaga kerja, jasa, dan modal di antara para negara anggota EEC.
Baca Juga
Nama perjanjian itu beberapa kali mengalami perubahan sejak penandatangan pada 1957. Perjanjian Maastricht pada 1992 menghapus kata "economic" dari nama resmi Perjanjian Roma.
Advertisement
Pada 2009, Perjanjian Lisbon mengganti namanya menjadi "Treaty on the functioning of the European Union".
Setelah 60 tahun lamanya, Uni Eropa telah berkembang dan mencakup 28 negara Eropa dengan penduduk berjumlah sekitar 500 juta jiwa.
Bicara soal pencapaian selama itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Guerend, mengatakan melalui wawancara khusus dengan Liputan6.com pada Kamis 6 April 2017 bahwa Uni Eropa telah membawa kesejahteraan kepada lebih banyak pihak daripada sekedar 6 negara pendirinya.
"Hampir semua negara Eropa sekarang menjadi anggota upaya bersama ini, kami yakin bahwa kepada seluruh dunia kami telah menghadirkan perdamaian dan kesejahteraan, agar tak jadi perang lain di Benua Eropa," lanjutnya.
"Dan 60 tahun kemudian, kami lega karena hal itu berhasil, mungkin melebihi ekspektasi para pendirinya. UE bukan hanya menghadirkan perdamaian dan kesejahteraan pada enam negara pendirinya, tapi telah berkembang dan menjadi kesatuan bagi 500 juta penduduk dalam 28 negara anggota," lanjutnya.
Meski demikian, tak dipungkiri, setelah 60 tahun berdiri, Inggris sebagai salah satu negara anggota UE keluar dari komunitas itu.
"Memang itu adalah keputusan warga Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa lewat referendum tahun lalu," ujar Dubes Guerend.
Namun, menurut duta besar asal Prancis itu, tantangannya adalah harus melihat Uni Eropa dengan 27 negara bernegosiasi dengan Inggris sebagai negara terpisah. Apalagi Inggris tetap meminta akses ke pasar tunggal Uni Eropa.
"Memang tak terduga, kerena Inggris adalah negara anggota yang pertama kali memutuskan untuk hengkang, dan ini tentu menjadi tugas cukup berat bagi negara-negara yang tetap tinggal," lanjutnya.
Meski Inggris keluar dari keanggotaan, pihak Uni Eropa berencana akan menegosiasikan perjanjian untuk membuat kerangka kerja baru dengan Inggris sebagai negara yang bukan lagi menjadi anggota.
"Jika Inggris ingin tetap mempertahankan akses ke pasar tunggal, maka Inggris harus menghormati keseluruhan 4 pilar pasar tunggal itu yaitu kebebasan pergerakan orang, barang, jasa, dan modal," tegas Dubes Guerend.