Liputan6.com, Washington, D. C. - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, China mungkin telah meretas surat elektronik (e-mail) pejabat Partai Demokrat pada Pilpres AS 2016. Peretasan e-mail tersebut ditujukan untuk menghambat laju Partai Demokrat pada pilpres 2016 lalu.
Pernyataan Trump berbanding terbalik dengan pandangan badan intelijen AS yang menuding Rusia sebagai pelaku peretasan e-mail.
Pendapat sang presiden tidak didukung bukti. Namun, ia --dengan gelagat eksentriknya-- yakin bahwa Negeri Tirai Bambu merupakan dalang pembajakan tersebut.
Advertisement
"Bisa jadi China, bisa jadi beberapa kelompok lain," kata Trump pada wawancara dengan CBS, seperti yang dikutip Asian Correspondent, Senin (1/5/2017).
Peretasan e-mail tersebut merupakan skandal politik yang berdampak pada kekalahan Partai Demokrat dan kandidat presidennya, Hillary Clinton, pada Pilpres AS 2016. Aktor peretasan menyebarkan sebuah e-mail yang berisi dokumen penting milik partai.
Isi dokumen tersebut antara lain, korespondensi 'off-the-record' dengan sejumlah kantor berita yang membahas topik sensitif internal partai, skenario pemenangan Hillary Clinton yang mengungguli Bernie Sanders pada bursa capres internal Partai Demokrat, dan daftar pemberi dana partai.
Tujuan penyebarluasan informasi tersebut dituding oleh Central Intelligence Agency (CIA) sebagai langkah untuk menghambat langkah Hillary Clinton dan Partai Demokrat pada Pilpres 2016. Menurut badan spionase itu, Rusia dituding sebagai dalang di balik pembocoran dan penyebarluasan data.
Sejak CIA menyajikan laporan yang menuding Rusia sebagai pelaku utama peretasan, beredar dugaan bahwa kancah Donald Trump pada Pilpres 2016 dibantu oleh Negeri Beruang Merah.
Sang presiden terpilih pun selalu membantah keterlibatan Moscow pada pembajakan tersebut.
Sebaliknya, pada sesi debat terbuka 26 September 2016, pemilik Trump Organization itu justru secara terbuka menuding China dan beberapa negara lain sebagai dalang peretasan.
China dan Rusia merupakan negara yang telah lama berstatus sebagai penasihat keamanan siber Negeri Paman Sam.
Meski pada masa kampanye, Trump kerap menyatakan akan bertindak tegas pada China dan Rusia, namun kini presiden AS ke-45 itu nampak mengendurkan sesumbarnya.
Trump dilaporkan telah melunakkan kebijakan perdagangannya dengan Beijing sebagai langkah untuk mendapat dukungan Negeri Tirai Bambu pada konflik AS-Korea Utara. Sementara itu, sebelum resmi menduduki kursi kepresidenan, ayah Ivanka Trump itu juga berjanji akan memperbaiki hubungan dengan Moscow.
Hingga kini, Rusia masih membantah terkait tudingan keterlibatan dalam mencampuri pesta demokrasi AS 2016 lalu. Pihak Beijing juga belum memberikan pernyataan terkait tuduhan Trump.
Kasus peretasan tersebut sedang diselidiki oleh Federal Bureau of Investigation (FBI).