Dugaan Meretas Pilpres 2016, Obama Usir 35 Pejabat Rusia dari AS

Sebanyak 35 pejabat Rusia dan keluarganya, diminta untuk meninggalkan AS dalam kurun 72 jam, atas sanksi terhadap peretasan Pilpres AS 2016.

oleh Citra Dewi diperbarui 30 Des 2016, 08:42 WIB
Diterbitkan 30 Des 2016, 08:42 WIB
Presiden Barack Obama ketika terlibat dalam pembicaraan singkat dengan Presiden Vladimir Putin disela-sela KTT APEC 2016 di Lima, Peru
Presiden Barack Obama ketika terlibat dalam pembicaraan singkat dengan Presiden Vladimir Putin disela-sela KTT APEC 2016 di Lima, Peru (Reuters)

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Obama mengumumkan sanksi terhadap Rusia pada Kamis 29 Desember 2016 waktu setempat, atas dugaan peretasan ke dalam komputer Komite Nasional Demokrat (DNC) yang mempengaruhi pemilihan presiden AS 2016.

Badan intelijen negara, yakni CIA dan FBI, sebelumnya menuduh Rusia telah mempengaruhi pilpres November lalu untuk membantu Donald Trump memenangkan kursi kepresidenan. Tuduhan tersebut dibantah tegas oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Presiden Barack Obama menandatangani perintah yang menguraikan hukuman bagi individu dan organisasi yang diyakini "merusak, mengubah, atau menyebabkan penyalahgunaan informasi dengan tujuan mengganggu atau merusak proses pemilihan umum atau lembaga".

Dikutip dari Independent, Jumat (30/12/2016), sanksi tersebut berupa penutupan dua pemukiman Rusia yang berada di New York dan Maryland. Sebanyak 35 pejabat Rusia dan keluarganya, diminta untuk meninggalkan AS dalam kurun 72 jam.

"Kegiatan cyber Rusia dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilu, mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga demokratik AS, menabur keraguan tentang integritas proses pemilhan kami, dan merusak kepercayaan lembaga-lembaga pemerintah AS," ujar Obama.

"Tindakan ini tidak bisa diterima dan tidak akan ditoleransi," imbuh dia.

Obama juga mengisyaratkan bahwa tindakan tersebut hanyalah respons orang-orang Gedung Putih untuk dugaan peretasan pilpres AS dan akan membalasnya di luar pengawasan masyarakat.

"Tindakan ini bukan jumlah total tanggapan kita terhadap kegiatan agresif Rusia. Kami akan terus mengambil berbagai tindakan dalam waktu dan tempat yang kam pilih, beberapa di antaranya tidak akan dipublikasikan," imbuh Obama.

Ketua DPR AS, Paul Ryan, setuju dengan pemerintahan Obama dengan mengatakan bahwa sanksi tersebut telah lama tertunda.

"Rusia tidak memiliki kepentingan yang sama dengan Amerika Serikat. Bahkan, secara konsisten berupaya untuk merusak, menabur ketidakstabilan yang berbahaya di seluruh dunia," ujar Ryan dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, selama berkampanye, Donald Trump telah menjanjikan hubungan lebih baik dengan Putin dan mengabaikan badan-badan intelijen AS yang mengonfirmasi adanya serangan cyber.

Pada Rabu 28 Desember lalu, ia mengatakan kepada wartawan bahwa rakyat Amerika harus "melanjutkan hidupnya" ketimbang berspekulasi atas dampak yang telah dilakukan Rusia dalam pilpres 2016.

Menanggapi sanksi tersebut, Kedutaan Rusia di Inggris mengunggah sebuah foto bebek dengan kata "lame" di Twitter dan mencuit, "semua orang akan senang untuk melihat pemerintahan terakhir yang malang ini".

Pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia, Konstantin Dolgov, menyebut sanksi tersebut sia-sia dan kontraproduktif.

"Pemerintahan Obama ini harusnya tak memiliki alasan, baik hak politik maupun moral bagi langkah-langkah keras dan merusak terhadap hubungan bilateral dengan Rusia," kata Dolgov kepada kantor berita Interfax.

"Saya minta maaf atas kata-kata kasar, tapi saya tidak punya kata lain untuk mengungkapkannya. Ini bukan hanya sekedar penderitaan dari 'lame duck' -- seorang yang tak terpilih lagi tapi masih menjabat-- , tapi dia sudah menjadi 'mayat politik'," imbuh Dolgov menanggapi sanksi AS terhadap Rusia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya