Liputan6.com, Jakarta - Memiliki relationship atau hubungan yang lebih baik mungkin keinginan banyak orang. Maka tak ada salahnya menengok sejumlah nasihat dari para penganut filsafat Stoic.
Stoicisme adalah ranah filsafat Hellenistik bentukan Zeno yang tumbuh subur di Romawi dan Yunani hingga Abad ke-3.
Secara garis besar, isinya adalah filsafat etika pribadi yang tercerahkan oleh sistem logika dan cara pandangnya terhadap dunia.
Advertisement
Sebagai makhluk sosial, jalan menuju kebahagiaan ditemukan dalam penerimaan suatu momen sebagaimana hadirnya. Bukan dengan membiarkan diri kita dikendalikan oleh dorongan untuk kenikmatan atau ketakutan akan rasa sakit, tapi melalui penggunaan pikiran untuk mengerti dunia sekitar kita dan melakukan bagian kita, dan melalui kerja bersama serta memperlakukan orang lain secara adil.
Memang terdengar aneh, karena kita seringkali menganggap para pendukung filsafat Stoic sebagai orang yang datar – tanpa emosi.
Baca Juga
Tapi, seperti dikutip dari theladders.com pada Rabu (13/9/2017), itu hanya mitos karena filsafat tersebut amat mementingkan kebajikan, pengendalian diri, dan pengekangan emosi-emosi negatif.
Semua itu menjadi modal baik untuk menjadi orang yang disukai. Apalagi, semua metode mereka didukung oleh ilmu pengetahuan karena Stoicisme adalah inspirasi bagi Terapi Perilaku Kognitif yang sekarang menjadi metode utama untuk membantu orang mengatasi isu-isu psikologis.
Dari perbincangan dengan Massimo Pigliucci, seorang profesor filsafat di City University of New York (CUNY) sekaligus penulis buku "How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life," ada 4 hal yang bisa dipelajari.
Tentu saja semua itu tidak mengubah kita dalam sekejap. Tapi pelatihan itu berdampak kepada perbaikan seiring dengan berjalannya waktu, seperti yang dikutip Massimo dari ucapan Seneca, “Jangan minta saya agar menjadi sempurna, mintalah agar saya menjadi lebih baik dari kemarin.”
Berikut ini 4 hal yang dimaksud:
1. Bukan Saya
Secara sederhana, hal ini berarti kita berhenti terlalu banyak berbicara tentang diri kita dan fokus kepada orang lain.
Berikut ini adalah pemikiran mahaguru Stoic bernama Epictetus, "Dalam perbincangan, hindari penyebutan yang terlalu sering tentang tindakan dan bahaya yang pernah kita hadapi."
"Sebesar apapun keinginan kita untuk menceritakan risiko-risiko yang pernah kita lewati, bagi orang lain mungkin tidak sama kepentingannya untuk mendengarkan petualangan-petualangan tersebut."
Benar, membicarakan diri sendiri memang menyenangkan.
Menurut tulisan "Barking Up the Wrong Tree: The Surprising Science Behind Why Everything You Know About Success Is (Mostly) Wrong," ahli syaraf Diana Tamir mendapati bahwa otak mendapatkan lebih banyak kesenangan ketika membicarakan diri sendiri daripada ketika kita mendapatkan makanan atau uang.
Tapi, jika ingin orang lebih senang berada di sekitar kita, lebih baik mengekang mulut dan membiarkan orang merasa lebih senang dengan membicarakan diri mereka.
Lalu, bagaimana jika orang lain menghina kita?
Advertisement
2. Lakukan 'Pasifisme Hinaan'
Ketika ada orang mengatakan kepada kita bahwa kita sama bodohnya seperti sebuah tiang, bagaimanakah cara kaum Stoic memberikan tanggapan?
Begini tanggapan mereka, "Kamu terlalu menyanjung saya. Saya jauh lebih bodoh daripada sebuah tiang."
Masih dari Epictetus, beginilah yang dikatakannya, "Jika orang menceritakan kepadamu bahwa ada orang lain yang berbicara buruk tentangmu, jangan berkelit tentang apa yang dikatakan tentang dirimu."
"Tapi jawablah, 'Ia tidak mengetahui kelemahan-kelemahan lain dalam diri saya. Jika tidak, tentulah ia tidak hanya menyebutkan yang satu itu.'"
Orang lain boleh saja keji seperti itu, tapi apa manfaatnya membesar-besarkan hingga berktengkar?
Ketika orang menghina kita, tanggapilah dengan humor yang merendahkan diri sendiri.
Dan dengan mengabaikan nada sambil mengerti isi hinaannya, kita mungkin mendapatkan umpan balik yang berguna untuk memperbaiki diri.
Dari buku "How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life," disebutkan, "Semakin kita melatih diri kita menghadapi hinaan, semakin kokoh perasaan kita secara psikologis."
"Lebih baik mengabaikan aspek yang menusuk dari apa yang dikatakan agar kita fokus pada apa yang mungkin saja benar dari dirinya dan belum kita ketahui."
"Tidak ada alasan mengapa hinaan tidak bisa menjadi momen pembelajaran bagi kita, sebengis apapun itu."
3. Menjaga Ucapan dan Tindakan
Maukah kita berperilaku secara selayaknya?
Bayangkanlah ada seseorang yang kita hormati sedang berdiri di belakang kita, entah nenek ataupun guru kita. Maukah kita kelihatan konyol di hadapan mereka? Tentu tidak.
Begini menurut Massimo, "Seneca berpendapat agar kita menjalani kehidupan kita sambil terus membayangkan ada seseorang yang mengawasi kita."
"Pada dasarnya, lakukanlah seakan kita harus memberikan penjelasan tentang tindakan-tindakan kita kepada alter ego tersebut."
Jika kita tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak pantas yang seakan ketahuan oleh seseorang yang kita hormati, maka jangan lakukan hal tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement
4. Perlakukan Semua Orang Seperti Keluarga
Kebanyakan di antara kita menganggap keluarga lebih dekat daripada teman-teman dan teman-teman lebih dekat daripada orang-orang tak dikenal. Hal ini bisa dimengerti.
Tapi bagaimana kalau kita mencoba menarik 3 lingkar kedekatan itu menjadi lebih dekat?
Beginilah menurut Massimo, "Hierocles mengajak kita untuk membayangkan serangkaian lingkaran sepusat dengan diri kita di tengahnya. Lingkar berikutnya adalah keluarga kita, lalu lingkar teman-teman."
"Di luar lingkaran-lingkaran adalah sesama warga, sebangsa, dan kemudian sesama manusia secara lebih luas."
"Kemudian, secara mental cobalah untuk mendekatkan lingkaran-lingkaran itu kepada diri kita."
Artinya, kita mencoba mengingatkan diri kita bahwa mereka semua adalah sesama manusia, bahwa itulah orang-orang yang harus kita pedulikan sebagaimana halnya kita peduli dengan kerabat dan teman-teman.
Terdengar indah, bukan? Tapi bagaimana praktiknya? Mendadak berakrab-akrab?
Beginilah menurut Massimo, "Hierocles mengatakan bahwa kita memanggil orang seusia di sekeliling kita sebagai saudara lelaki dan saudara perempuan, dan yang lebih tua sebagai bibi dan paman."
"Hal itu seperti pendekatan Terapi Perilaku Kognitif terhadap berbagai hal. Seakan-akan, ketika kita melakukan itu berulang-ulang, kita secara perlahan semakin merasakan orang-orang itu sebagai saudara lelaki dan suadara perempuan, sebagai bibi dan paman."