Usai Teror Las Vegas, AS Rancang Larangan Baru Soal Senjata Api

Rancangan baru soal senjata api berencana untuk melarang penggunaan aksesori stock bump pada senjata api semi-otomatis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Okt 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2017, 09:09 WIB
Ornamen Hati di Nisan Korban Penembakan di Las Vegas
Sejumlah orang mengamati nisan untuk menghormati korban tewas penembakan massal yang terjadi dekat Kasino Mandalay Bay di Las Vegas, Jumat (6/10). Sebanyak 58 nisan kayu berbentuk salib itu ditambahkan ornamen hati berwarna merah. (AP/Gregory Bull)

Liputan6.com, Washington, DC - Sepekan usai penembakan massal Las Vegas pada 1 Oktober lalu, perdebatan mengenai pemberlakuan larangan-larangan baru terkait senjata api kembali marak di Amerika Serikat.

Beberapa waktu sebelumnya, sejumlah upaya pengendalian senjata api telah berulang kali gagal di Kongres. Akan tetapi sekarang ini, ada upaya baru yang tengah dilakukan untuk melarang penggunaan aksesori senjata api.

Rancangan undang-undang baru yang telah disusun di Kongres AS mengatur tentang pelarangan penggunaan bump stocks pada senjata api. Demikian seperti dikutip dari VOA News Indonesia, Selasa (10/10/2017).

Bump stocks, yang notabenenya merupakan perangkat tambahan, mampu membuat senapan semi-otomatis menembakkan peluru hampir sama cepatnya seperti senapan mesin otomatis.

"Satu-satunya alasan untuk memodifikasi senjata api adalah untuk menewaskan sebanyak mungkin orang dalam waktu sesingkat mungkin," ujar senator dari frkasi Demokrat, Dianne Feinstein.Ā 

Munculnya regulasi baru itu diikuti kabar lain yang tak kalah mengejutkan.

Kelompok pro-senjata api terbesar di AS, National Rifle Association (NRA) mengisyaratkan dukungannya bagi regulasi tambahan tersebut. Meski begitu, tak jelas bentuk dukungan seperti apa yang akan ditunjukkan oleh kelompok tersebut.

Meski begitu, kantor kepresidenan AS, untuk sementara, menolak memberikan komentar mendalam terkait munculnya regulasi tersebut.

"Kami ingin menjadi bagian dari pembahasan ini. Kami ingin mengumpulkan lebih banyak informasi, kami akan terus melakukan itu selama beberapa hari mendatang," ujar juru bicara Gedung Putih, Sarah Sanders.Ā 

Di sisi lain, fraksi Partai Republik di Senat AS mengisyaratkan tidak ingin membawa legislasi senjata pada waktu dekat dalam sebuah pembahasan politik.

"Coba, investigasinya saja belum selesai. Dan saya pikir terlalu dini untuk membahas solusi legislatif, kalau memang ada," kata Pemimpin Republik di Senat, Senator Mitch McConnell.

Sementara itu, perdebatan yang lebih besar muncul kembali, apakah pengendalian senjata api dapat menghentikan kekerasan atau membatasi hak konstitusional warga Amerika untuk menyandang senjata?

Anggota Partai Demokrat di Kongres AS, Seth Moulton, dalam acara ABC This Week mengatakan bahwa orang-orang senang berburu dan mereka senang memiliki senjata api. Meski demikian, menurutnya adaĀ cara-cara yang dapat mengurangi kekerasan tersebut.

Sementara itu dalam acara yang sama, anggota Kongres AS dari fraksi Partai Republik Scott Taylor mengatakan, "Amendemen Kedua, Konstitusi AS bukan hanya untuk berburu. Amendemen Kedua diajukan agar dapat menggulingkan tiran. Dan dengan senjata tempur, pada waktu itu.ā€

Seperti dikutip dari VOA News Indonesia, tidak seorang pun di AS yang memperkirakan bahwa undang-undang baru yang menyeluruh mengenai pengawasan senjata api akan diberlakukan dalam waktu dekat. Meski begitu, munculnya undang-undang itu dapat menjadi angin segar bagi kebijakan senpi di Negeri Paman Sam.

Hubungan Kebijakan Senpi dan Kasus Penembakan Massal

Apakah kejadian penembakan massal memang benar-benar berkorelasi dengan kebijakan suatu negara yang memperbolehkan warga negaranya untuk memiliki senjata api?

"Dari sudut pandang kebijakan publik, hal itu ada korelasinya. Dan berbagai kasus penembakan massal itu seharusnya dijadikan momentum oleh Washington untuk menilik lagi kebijakan yang memperbolehkan warganya untuk memiliki senjata api," ujar Kepala Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, melalui sambungan telepon kepada Liputan6.com, pada 3 Oktober 2017.

"Di AS, senjata dijual bebas di banyak tempat, meski tetap ada regulasinya. Nah, situasi semakin parah ketika kemudahan akses untuk memperoleh senjata dimanfaatkan oleh individu yang tidak bertanggung jawab, para kriminal, atau orang dengan gangguan psikis," tambah kriminolog bidang kepakaran kebijakan publik itu.

Saat masih menjabat sebagai Presiden AS, Barack Obama sempat mengajukan undang-undang pengetatan penggunaan senjata api. Selain itu, semasa Pilpres AS, kandidat presiden Hillary Clinton turut mengajukan hal serupa jika dirinya berhasil menjabat orang nomor satu di Negeri Paman Sam.

Namun, banyak juga suara ketidaksetujuan atas rencana undang-undang ini. Beberapa di antaranya adalah politisi partai Republik -- lawan Partai Demokrat yang mengusung Obama dan Clinton.

"Dan mungkin pertentangan itu akan terus berlanjut, apalagi mengingat Presiden AS yang sekarang adalah Donald Trump, dari Partai Republik," ujar Iqrak.

Pada September 2017, Presiden Trump pernah kembali menegaskan pandangannya terkait isu senjata api. Dia mengatakan, "Andai saja Hillary Clinton terpilih menjadi presiden, kalian semua akan diminta menyerahkan senjata."

Bahkan ketika menanggapi kasus penembakan Las Vegas ini, Trump juga sama sekali tidak menyinggung soal isu kepemilikan atau pengetatan senjata api.

"Persatuan kita tak dapat dihancurkan oleh kejahatan, ikatan yang mempersatukan bangsa ini tak bisa dipatahkan oleh kekerasan. Meski kita murka atas pembunuhan yang terjadi pada sesama warga, cinta yang menyatukan kita bersama, selalu dan selamanya," ujar Trump.

Iqrak berbeda pandangan. Ia menggarisbawahi, AS adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hak individual seseorang, termasuk hak melindungi diri sendiri (self-defense).

"Nah, diizinkannya kepemilikan senjata api itu kan bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas seseorang dalam melindungi diri sendiri, seperti diatur dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS," papar Iqrak.

Ia melanjutkan, "Tapi menilik kasus-kasus yang telah lalu, rasanya kebijakan itu jadi bersifat paradoks. Awalnya dicanangkan untuk melindungi seseorang, tapi sekarang justru sangat banyak merenggut nyawa."

Ā 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya