Liputan6.com, Hong Kong - Pada Rabu 29 November 2017, Korea Utara menembakkan rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-15. Misil mulai itu melesat pada pukul 02.48 waktu setempat.
Pyongyang mengklaim, itu adalah rudal terdahsyat yang mereka miliki. Lebih kuat dan bisa dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir besar.
Korut mengklaim, Rudal Hwasong-15 mencapai ketinggian 4.475 kilometer, terbang sejauh 950 kilometer dalam waktu 53 menit, sebelum akhirnya jatuh di titik 250 kilometer dari pantai timur Jepang.
Advertisement
Rudal itu, menurut Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis, "Lebih tinggi dari yang sebelumnya sudah mereka luncurkan." Bos Pentagon itu menambahkan, Korea Utara kini telah menjadi ancaman bagi dunia.
Proyeksi lebih mengerikan disampaikan sejumlah ahli. "Jika diluncurkan pada lintasan rata, misil itu bisa menempuh jarak sejauh 13.000 km. Cukup untuk mencapai Washington DC," kata Scott Seaman, direktur biro Asia untuk firma konsultan Eurasia Group, seperti dikutip dari CNBC.
Bisa jadi demikian, karena ada sejumlah saksi mata melihat bagaimana rudal Korea Utara itu meluncur menembus atmosfer Bumi.
Saksi mata itu adalah awak Cathay Pasific, penerbangan dari San Fransisco ke Hong Kong. Dikutip dari CNN pada Senin (4/12/2017). Para pilotnya menyaksikan apa yang diyakini sebagai misil balistik Korea Utara yang memasuki atmosfer Bumi. Kesaksian tersebut diungkapkan lewat pernyataan maskapai itu.
Cathay mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka telah menghubungi pihak berwenang, badan industri dan maskapai penerbangan terkait insiden tersebut.
Pihak maskapai juga menyebut, hingga saat ini tidak ada rencana untuk mengubah rute penerbangan.
"Penerbangannya jauh dari lokasi peluncuran rudal, ATC Jepang (Air Traffic Control) meminta pesawat tetap berjalan sesuai prosedur. Operasi tetap normal dan tidak terpengaruh," kata pernyataan tersebut terkait peluncuran rudal Korea Utara.
Detik-Detik Mencekam Suara Sirene Rudal Korut Berbunyi di Hawaii
Usai peluncuran rudal Korea Utara, Hawaii sebagai salah satu negara bagian AS, melakukan uji coba sirene peringatan terkait ancaman itu.
Pada Jumat 1 November 2017, Hawaii melakukan tes terhadap sistem sirene massalnya, selang empat hari usai Korea Utara melesatkan rudal termutakhirnya -- yang diprediksi mampu mencapai daratan Amerika Serikat.
Sejatinya, Hawaii memang selalu rutin melakukan tes terhadap sistem sirene massalnya, khususnya untuk potensi bencana alam.
Namun, semakin meningkatnya potensi serangan rudal dari Korea Utara, mengharuskan pemerintah lokal untuk turut melakukan tes sirene ancaman rudal atau misil.
"Kami percaya bahwa sangat penting untuk bersiap menghadapi potensi bencana yang akan datang. Dan, pada masa kini, serangan nuklir termasuk dalam daftar bencana itu," kata Gubernur Hawaii David Ige seperti dikutip dari Associated Press, Minggu 3 November 2017.
Badan Manajemen Situasi Darurat Hawaii (HEMA) menambahkan, sirene massal untuk mengantisipasi datangnya rudal menggunakan sistem yang sama dengan tanda bahaya bencana alam.
Hanya saja, untuk antisipasi rudal, sistem sirene massal itu menggunakan nada suara yang berbeda.
Suaranya mendesir nyaring mencekam, dengan nada tinggi nan panjang serta memekakkan telinga -- jika didengar dari jarak dekat. Mendekati durasi akhir, nada sirene itu kemudian merendah dan membulat.
Suara itu kemudian akan kembali berulang, sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan.
Menurut Gubernur Ige, tes sirene itu dilakukan agar masyarakat mampu waspada dan tanggap atas apa yang akan mereka lakukan, jika sewaktu-waktu misil Kim Jong-un menghantam kepulauan tersebut.
"Hanya 20 menit, waktu yang dimiliki oleh warga setempat untuk berlindung dari sebuah rudal yang diluncurkan (dari Korut)," kata seorang pejabat menambahkan.
Advertisement