Liputan6.com, Tokyo - Rusia menyatakan bahwa latihan militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan koalisi di Semenanjung Korea -- guna menghadapi ancaman Korea Utara -- justru akan semakin menyulut histeria dan instabilitas di kawasan.
Jenderal Valery Gerasimo, Panglima Angkatan Bersenjata Rusia mengungkapkan hal tersebut di hadapan Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera dan Panglima Pasukan Pertahanan Jepang (Japan Self Defense Force) Katsutoshi Kawano di Tokyo.
Baca Juga
Pernyataan itu juga bertepatan ketika AS, Jepang dan Korea Selatan tengah menggelar latihan militer gabungan selama dua hari guna meningkatkan inter-operabilitas dan kapabilitas ketiga negara demi menghadapi ancaman misil Korea Utara.
Advertisement
"Menggelar latihan militer di kawasan dekat Korea Utara hanya akan meningkatkan histeria dan instabilitas di kawasan," kata Jenderal Gerasimo seperti dikutip Independent, Rabu (13/12/2017).
Sebelumnya, AS dan Korsel turut menggelar latihan gabungan terlebih dahulu. Sebagai bentuk respons, Korea Utara yang keberatan dengan latihan gabungan tersebut mengatakan bahwa jika perang terjadi, maka peristiwa itu adalah sebuah 'fakta yang tak dapat dimungkiri'.
Korea Utara juga kembali bersikukuh bahwa program senjata mereka adalah sebuah keharusan untuk membalas potensi agresi Amerika Serikat.
Lawatan Jenderal Gerasimo -- selaku perwira tinggi Rusia -- ke Jepang adalah yang pertama sejak tujuh tahun terakhir. Pada Maret 2010, kedua negara melakukan pertemuan two-plus-two -- melibatkan Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.
Hubungan Moskow - Tokyo terus dirundung polemik selama beberapa dekade, yang dipicu oleh klaim Rusia atas empat pulau di utara Hokkaido, yang sebelumnya dianeksasi oleh pasukan Uni Soviet pada pengujung Perang Dunia II.
AS, Korsel dan Jepang Gelar Latihan Uji Sistem Pertahanan Udara
Seperti dilansir The Japan Times pada 11 Desember 2017, Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan melakukan latihan gabungan selama dua hari berturut-turut.
Latihan itu dilakukan untuk menguji sistem pertahanan udara dan sistem pelacak/penghancur rudal milik ketiga negara, demi mengantisipasi potensi ancaman misil Korea Utara. Kendati demikian, tak dijelaskan apakah sistem pertahanan udara AS di Korea Selatan yang kontroversial -- THAAD -- akan dilibatkan dalam latihan tersebut.
Perhelatan semacam itu akan menjadi rangkaian latihan keenam yang pernah dilakukan oleh ketiga negara dalam hal uji pertahanan atas potensi ancaman rudal balistik lawan.
Pelaksanaan latihan itu berselang dua pekan usai Korea Utara melakukan tes rudal teranyarnya pada 29 November 2017. Pakar memperkirakan bahwa rudal tersebut memiliki kapabilitas untuk menjangkau ibu kota Amerika Serikat, Washington DC.
David Wright, Direktur Program Keamanan Global untuk firma analis nonprofit Union of Concerned Scientist menyebut, ICBM Korea Utara terbaru itu mampu menempuh jarak yang lebih jauh jika meluncur dalam jalur lintasan semi-horizontal.
"Rudal semacam itu akan memiliki jarak yang lebih dari cukup untuk mencapai Washington DC. Bahkan, sebenarnya mampu mencapai sebagian besar daratan Amerika Serikat," kata Wright.
Sementara itu, Scott Seaman, Direktur Biro Asia untuk firma konsultan Eurasia Group, sependapat dengan pernyataan Wright.
"Jika diluncurkan pada lintasan rata, misil itu bisa menempuh perjalanan hingga mencapai jarak sejauh 13.000 km. Jarak itu cukup untuk mencapai Washington DC," tambah Seaman.
Kendati demikian, rudal teranyar Korea Utara yang diluncurkan pada 29 November itu belum tentu mampu dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir.
"Kita tidak tahu muatan apa yang dibawanya, sehingga tidak jelas apakah rudal itu mampu menjangkau jarak yang sama jika membawa hulu ledak nuklir. Ditambah lagi, kita juga belum tahu pasti, apakah hulu ledak nuklir Korut telah benar-benar dibuat dan bisa dipasang pada rudal mereka," tambah Wright.
Advertisement