Liputan6.com, Abuja - Musim hujan di Nigeria membuat ular berbisa keluar dari sarangnya untuk berburu dan berkembang biak. Oleh karena itu, musim tersebut menjadi waktu yang berbahaya, terutama bagi para petani.Â
Sekitar 250 orang dilaporkan tewas dalam kurun tiga minggu di negara bagian Gombe dan Plateau. Kasus tersebut membuat dokter lokal kewalahan dan menimbulkan kecaman nasional.
Kasus tersebut ekstrem, namun bukan hal unik. Pasalnya, Nigeria adalah salah satu negara yang paling parah terdampak, di mana para pakar kesehatan masyarakat menyebut kasus itu sebagai epidemi.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari CNN, Kamis (21/12/2017), daerah Afrika sub-Sahara adalah rumah bagi banyak ular paling mematikan di dunia, termasuk mamba hitam dan viper karpet -- dua jenis ular yang paling banyak menimbulkan korban.
Diperkirakan, 32.000 orang di wilayah tersebut tewas setiap tahunnya oleh gigitan ular. Sementara itu, 100.000 lainnya menjadi cacat, seringkali karena luka parah yang memerlukan amputasi anggota badan.
Meski kejadian di Nigeria sudah tergolong krisis, spesialis di lapangan mengatakan respons terhadap hal tersebut sangat kurang.
Â
Jumlah Korban Lebih Tinggi
Sejumlah pihak menyebut bahwa korban di Afrika sub-Sahara jauh lebih tinggi dari yang tercatat.
"Informasi dari pusat kesehatan hanya sebatas pada pasien yang datang ke klinik atau rumah sakit, yang hanya setengahnya atau kurang dari jumlah asli," ujar pakar bisa dan pendiri African Society of Venomology (ASV), Dr Jean-Philippe Chippaux.
Sebagian alasannya karena beberapa korban lebih suka melakukan pengobatan tradisional. Menurut Chippaux, hal itu bisa menjadi keputusan fatal karena bisa dapat membunuh dalam beberapa jam.
Hal lainnya adalah, warga yang tinggal di daerah terisolir berjuang untuk mengakses fasilitas medis dengan staf spesialis terlatih untuk mendiagnosis dan mengobati gigitan ular.
"Ini adalah penyakit yang melibatkan petani miskin...di mana pengobatannya mahal dan kurang dipahami oleh otoritas kesehatan, petugas kesehatan, dan masyarakat," ujar Chippaux.
Advertisement
Akar Masalah
Chippaux mengatakan, pengabaian pemerintah atas hal tersebut menjadi akar masalahnya.
"Diagnosis dan pengobatan gigitan ular tidak lagi diajarkan di sekolah kedokteran dan perawat. Tak ada negara yang memiliki strategi untuk enevenomasi -- proses masuknya racun ke dalam tubuh. Tak ada kebijakan untuk memilih dan mendistribusikan antivenom," ujar dia.
Seorang perempuan pengusaha yang mendirikan Swaziland Antivenom Foundation, Thea Litschka-Koen, menyebut bahwa kurangnya sumber daya dan keahlian sering mengakibatkan pasien menerima antivenom yang salah.
"Ada masalah besar di lemari pendingin yang dipenuhi produk yang seharusnya tak ada di sana," ujar Litschka-Koen.
"Entah produk itu tak memadai atau tak mencakup spesies yang tepat, mungkin harganya lebih murah, tapi tidak akan menetralisir racun atau menyelamatkan nyawa," imbuh dia
Litschka-Koen pun setuju bahwa pengabaian adalah inti dari krisis. "Gigitan ular adalah penyakit yang terbengkalai dan tragis karena menimpa orang miskin yan tak memiliki suara."