Efek Bencana di Indonesia: 1816 Jadi Tahun Getir buat Eropa

Sejumlah peristiwa terjadi pada tahun 1816. Tak hanya kisah sedih saja, fenomena menarik dan lahirnya karya sastra juga terjadi.

oleh Afra Augesti diperbarui 02 Jan 2018, 08:24 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2018, 08:24 WIB
Letusan Gunung Tambora
Letusan Gunung Tambora (Public Domain)

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim masih menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Sejak zaman dahulu kala, suhu di Bumi terus mengalami peningkatan maupun penurunan signifikan. Contohnya saja pada tahun 1816.

Tahun tersebut dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas," atau "Tahun Kemiskinan", atau "800 Hari Menuju Kematian". Tahun 1816 memang lekat dengan sejarah kegetiran umat manusia. 

Kala itu musim panas menghilang dalam waktu setahun. Suhu bumi pun anjlok parah. 

Lantas, apa yang menyebabkan suhu pada tahun itu begitu dingin? Ternyata, terjadi anomali iklim yang parah, yang menyebabkan suhu global turun 0,7 hingga 1,3 derajat Fahrenheit atau berkisar -17 hingga -10 derajat Celsius.

Waktu itu, belahan Bumi utara adalah yang paling menderita. Di sana salju turun dengan deras pada bulan Juni dan mengakibatkan krisis pangan, selanjutnya badai beku terjadi pada Agustus. Orang-orang saat itu mengira, kiamat sudah dekat.

Meskipun tidak sepenuhnya terungkap apa yang menyebabkan cuaca ekstrem semacam itu, kebanyakan teori menunjukkan bahwa penyebab utamanya berasal dari letusan dahsyat gunung berapi yang terjadi dua tahun sebelumnya. Salah satunya di Indonesia.

Pertama, pada 1815, letusan Gunung Tambora terjadi di Pulau Sumbawa, Indonesia. Letusan ini sendiri dilaporkan berada pada skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI). Akibatnya, sejumlah material vulkanik membumbung tinggi ke angkasa dan melapisi atmosfer, menghalangi masuknya sinar matahari. 

Letusan lain yang mungkin memicu "Tahun Tanpa Musim Panas" ini adalah letusan Gunung Mayon di Filipina pada 1814. 

Krisis Pangan Melanda Eropa

Perubahan Iklim 1816
Perubahan iklim yang terjadi pada tahun 1816. (The Vintage)

Padahal, kala itu Bumi telah melewati masa-masa pendinginan selama berabad-abad, dikenal sebagai Zaman Es Kecil atau Little Ice Age, yang berlangsung dari Abad-16 sampai Abad-19. Ketika itu, krisis pangan dan kemiskinan melanda seluruh Eropa.

Zaman Es diperburuk oleh letusan gunung berapi. Sejarawan John D Post menggambarkan peristiwa tahun 1816 sebagai krisis subsisten terakhir yang berlangsung sangat lama di dunia Barat. New England, Atlantik Kanada, dan sebagian besar wilayah Eropa Barat terdampak paling buruk.

Seiring merosotnya pertanian dan gagal panen, sejumlah krisis pangan melanda Inggris dan Prancis. Bahkan yang lebih buruk terjadi di Swiss. Lantaran kelaparan hebat yang mendera negara tersebut, pemerintah mengumumkan keadaan darurat nasional.

Situasi diperburuk dengan hujan deras yang tak kunjung henti, hingga membuat sungai-sungai terbesar di Eropa meluap dan membanjiri kota-kota di sekitarnya.

Menciptakan Karya Seni dan Temuan Baru

Lukisan Sunset Gunung Pinatubo
Sebuah lukisan matahari terbenam di Hong Kong, setahun setelah letusan Gunung Pinatubo. (The Vintage)

Peristiwa mengerikan ini ternyata tak sepenuhnya menyedihkan. Banyak fenomena alam yang muncul akibat letusan gunung-gunung berapi tadi.

Semburan tefra -- fragmen batuan vulkanik atau lava yang dolontarkan ke udara ketika terjadi erupsi letusan gunung api -- menciptakan pemandangan matahari tenggelam yang tak biasa. Beberapa di antaranya telah dituangkan ke dalam lukisan karya seniman Inggris JMW Turner.

Fenomena serupa terlihat pasca letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tahun dan Gunung Pinatubo di Filipina yang meletus pada 1991.

Hal yang lebih menarik adalah ketika manusia mampu menghasilkan penemuan-penemuan penting dari musibah kelaparan itu. Contohnya saja Karl Drais, seorang penemu sepeda asal Jerman. Kala itu, ia termotivasi untuk menemukan sarana transportasi baru. Sebab, mencari pakan kuda amatlah sulit masa itu.

Justus von Liebig, seorang ahli kimia yang pernah menderita kelaparan akut di masa kecilnya saat ia tinggal di Jerman, mengabdikan hidupnya untuk mempelajari nutrisi tanaman dan mengembangkan penggunaan pupuk mineral.

Awal Mula Terciptanya Gerakan Anti-Perbudakan, Frankenstein, dan Dracula

Frankenstein (3)
Mahluk yang cerdas dan perasa itu ditinggalkan sendirian. Ia menginginkan hubungan dengan penciptanya, tapi Victor malah tidak mau berurusan dengannya. (Sumber storiediscienza.it)

Kegagalan panen di Amerika Utara juga mencetuskan lahirnya "American Heartland" yang menandai migrasi besar-besaran waktu itu.

Sejumlah keluarga petani meninggalkan New England dan bermigrasi ke tempat-tempat beriklim ramah, seperti di Midwest. Migrasi ini berperan dalam berdirinya negara bagian Indiana pada Desember 1816, dan Illinois dalam dua tahun setelahnya.

Sejarawan LD Stillwell mencatat, populasi di Vermont mengalami penurunan drastis, hampir mencapai 15 ribu orang. Di antara mereka yang meninggalkan Vermont adalah keluarga Joseph Smith -- pemimpin agama Kristen yang memulai gerakan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir -- yang pindah dari Norwich ke Palmyra, New York.

Langkah ini dianggap membawa kejadian besar. Puncaknya yaitu ketika terbitnya Book of Mormon dan pendirian resmi Gereja Yesus Kristus dari Orang Suci Zaman Akhir.

Pengamat lain juga menuturkan bahwa migrasi yang disebabkan kelaparan ini menyebabkan terbentuknya gerakan anti-perbudakan Abolitionist di Burned-over District, New York.

Adapun di Swiss kala itu lahir karya-karya sastra ciptaan Mary Godwin, Percy Shelley, Lord Byron, dan John William Polidori. Awal mula, keempatnya tinggal di Villa Diodati, di tepi Danau Jenewa, untuk liburan.

Selama cuaca buruk, para penulis tersebut memutuskan untuk membuat perlombaan, mereka saling bersaing satu sama lain untuk menuliskan kisah paling menyeramkan.

Saat itulah Mary Godwin, yang kini akrab disapa Mary Shelley, menuliskan kisah Frankenstein atau Modern Prometheus. Lord Byron menulis A Fragment dan karyanya ini mengilhami Polidori untuk menulis The Vampyre, sebuah cikal bakal novel horor era Victoria, Dracula.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya