Liputan6.com, London - Pada beberapa dekade mendatang, suhu dunia diperkirakan akan anjlok secara ekstrem dan Bumi akan mengalami zaman es mini. Itu bukan ramalah ahli nujum, melainkan prediksi sejumlah ilmuwan.
Penurunan suhu secara ekstrem itu diprediksi terjadi pada 2021, berdasarkan model perhitungan matematis yang mengukur soal siklus energi Matahari atau dikenal dengan nama 'The Solar Cycle'.
Hal itu akan memicu apa yang disebut sebagai fenomena 'Maunder minimum' dan memicu zaman es mini di Bumi, yang pernah terjadi antara tahun 1646 - 1715 dan menyebabkan Sungai Thames di London membeku, demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Jumat (29/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Konsep mendasar dari model perhitungan 'The Solar Cycle' menjelaskan, energi Matahari mengalami siklus serupa 'pendulum yang berayun dari satu sisi ekstrem ke sisi ekstrem yang lain' pada sejumlah kurun periode -- sekitar 11 tahun sekali.
Pada satu periode, energi Matahari akan mencapai titik ekstrem terpanasnya, yakni ketika Sang Surya tengah sering memproduksi lidah api (solar flare) dan bintik Matahari (sun spot).
Namun pada periode yang lain, energi Matahari akan berbalik 180 derajat, dan mencapai titik ekstrem terdinginnya.
Dan, menurut studi yang dilakukan oleh profesor Matematika Valentina Zharkova dari Northumbria University di Inggris, titik ekstrem terdingin Matahari akan terjadi antara tahun 2020-2030.
Prediksi itu juga menyebut, aktivitas Matahari akan mengalami penurunan hingga sekitar 60 persen -- sebuah kondisi yang pernah terjadi pada 1646 - 1715 di mana terjadi zaman es mini.
Meski bersifat siklus, Zharkova mengatakan bahwa masing-masing periode memiliki perbedaan sifat antara satu dengan yang lain.
Sementara itu, faktor lain yang ada di Bumi juga menyebabkan perbedaan antara satu edisi 'The Solar Cycle' yang satu dengan yang lain.
Riset itu bukan yang pertama ynng dilakukan oleh Zharkova. Pada 2015, ia telah melakukan penelitian serupa. Dan studi terbaru, menurutnya, semakin menguatkan riset yang ia lakukan pada 2015.
Hasil studi Zharkova tentang prakiraan zaman es mini itu telah dirilis pada Journal of Astronomy & Geophysics pada 2017.
Nuklir Korut Dapat Memicu Zaman Es
Seperti yang diutarakan oleh Valentina Zharkova, faktor lain yang ada di Bumi turut menyebabkan perbedaan antara satu edisi 'The Solar Cycle' yang satu dengan yang lain. Salah satu pemicu adalah efek dari rudal Korea Utara.
Isu nuklir Korea Utara tak bisa dianggap enteng. Seorang pakar keamanan internasional mengatakan, senjata pemusnah massal milik Korut tak hanya berpotensi memicu kematian dalam jumlah besar, tapi juga bisa menyebabkan berbagai masalah krusial berskala global. Beberapa di antaranya adalah ancaman kerusakan iklim dan lingkungan.
"Ledakan sebuah bom nuklir mampu memicu kepulan debu dan material kecil ke udara. Jika dijatuhkan ke sebuah hutan atau kota, dampak kerusakannya bisa lebih parah," kata Paul Edwards dari Stanford University Amerika Serikat, seperti dikutip dari Newshub.co.nz, Selasa 24 Oktober 2017.
"Jika meledak di kota atau hutan, api bom nuklir mampu membubung hingga ke stratosfer Bumi. Api dan radiasi panasnya kemudian akan tersirkulasi ke seluruh wilayah Bumi, melubangi lapisan ozon, dan mampu menyebabkan dampak iklim yang cukup serius."
"Selain itu, kepulan debu dan material yang terangkat ke atmosfer akibat ledakan, dapat menghalangi sinar Matahari. Hal itu mampu menyebabkan penurunan suhu dunia hingga mencapai 2 derajat Celsius, seperti pada Zaman Es di Bumi, sekitar 700 atau 800 tahun yang lalu."
Seluruh kejadian itu akan menyebabkan kekeringan, kerusakan ekosistem, gagal panen, bencana kelaparan, dan menimbulkan kerugian krusial bagi manusia.
Akan tetapi, Paul Edwards menilai, segala kekhawatiran yang dipicu atas ancaman nuklir Korea Utara, sesungguhnya masih jauh dari kenyataan, atau setidaknya beberapa tahun sebelum benar-benar terjadi.
"Secara teori, rudal mereka mungkin mampu menjangkau kawasan yang cukup jauh, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan kawasan Pasifik lainnya. Namun, masih butuh beberapa tahun lagi bagi Korut untuk mampu mempersenjatai rudal itu dengan nuklir," jelas Edwards.
Meski demikian, Edwards tak menutup kemungkinan bahwa cepat atau lambat, Korea Utara dapat benar-benar membuat rudal berhulu ledak nuklir dalam tahun-tahun ke depan.
"Diperkirakan mereka akan memiliki stok rudal nuklir sekitar 10 - 60 buah dengan daya ledak yang beragam, di antara 10 kiloton hingga 500 megaton. Memang, itu jumlah yang sedikit dan kecil. Namun, itu tetap sebuah senjata nuklir yang mampu menghancurkan sebuah kota jika mereka hendak melakukannya."
Komentar Edwards muncul setelah Jepang memperingatkan bahwa ancaman nuklir Korea Utara telah "berkembang ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kritis dan segera terjadi", dan Korea Selatan mengatakan bahwa "perilaku provokatif rezim Kim Jong-un menjadi semakin buruk".
Advertisement