Eks Pejabat Inggris: Intel Uni Soviet Sebarkan Hoax Perang Dunia III

Sebuah buku yang ditulis oleh eks pejabat tinggi Inggris menjelaskan bagaimana intelijen rahasia Uni Soviet KGB merupakan pihak di balik Perang Dunia III dan konflik nuklir internasional.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Feb 2018, 18:40 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2018, 18:40 WIB
Markas Badan Intelijen Uni Soviet KGB (Wikimedia Commons)
Markas Badan Intelijen Uni Soviet KGB. Lembaga itu, menurut klaim sebuah buku, dituduh menciptakan narasi Perang Dunia III untuk menakut-nakuti Barat (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, London - Sebuah buku yang baru dirilis mengklaim bahwa skenario Perang Dunia III akibat konflik nuklir beserta dampak apokaliptik yang ditimbulkan merupakan narasi yang sengaja diciptakan oleh agen intelijen rahasia Uni Soviet KGB sejak masa Perang Dingin.

Narasi itu sengaja diciptakan sebagai bagian dari plot berita palsu untuk menyebarkan kepanikan dan memicu kekacauan di negara-negara Barat.

Buku itu berjudul Green Tyranny yang ditulis oleh Rupert Darwall, seorang mantan penasihat senior untuk pemerintahan Inggris. Literatur itu menceritakan bagaimana seorang mata-mata Uni Soviet berpangkat tinggi mengungkap bahwa pimpinan badan intelijen Negeri Tirai Besi memerintahkan anak buahnya untuk menciptakan "mitos perang nuklir dunia dan dampak musim dingin berkepanjangan yang tercipta dari peperangan itu".

Agen yang membocorkan informasi itu adalah Sergei Tretyakov yang membelot dari Rusia pada tahun 2000. Ia mengungkapkan bagaimana KGB sangat bangga dengan fakta bahwa mitos itu telah membodohi banyak orang -- yang sekarang disebut sebagai fenomena berita palsu.

Darwall juga menulis, Kepala KGB Yuri Andropov pernah "memerintahkan Akademi Ilmu Pengetahuan Soviet untuk membuat laporan kiamat guna memicu demonstrasi besar di negara-negara Barat".

Untuk mencapai tujuan itu, mereka juga memublikasikan secara massal karya ilmuwan bernama Kirill Kondratyev tentang "efek pendinginan badai debu di Gurun Karakum usai menerima serangan nuklir".

"Saya diberi tahu bahwa ilmuwan Soviet sadar teori itu benar-benar tidak benar. Tidak ada fakta yang sah untuk mendukung teori itu. Tapi itulah yang Yuri Andropov butuhkan untuk menyebabkan teror di Barat," kata Sergei Tretyakov.

Tretyakov kemudian mengatakan bahwa Andropov memerintahkan anak buahnya untuk menyebarluaskan teori itu ke kelompok dan komunitas gerakan damai dan pendukung lingkungan di Barat. Akibatnya, banyak ilmuwan dan pakar terhormat dari Barat yang terkecoh oleh teori itu.

Ada pula sebuah makalah tahun 1982 yang berjudul "The Atmosphere after a Nuclear War: Twilight at Noon" yang turut digunakan untuk menyebarkan teori palsu itu. Dalam makalah itu tercantum penjelasan tentang bagaimana hutan dan ladang minyak yang terbakar akibat nuklir -- menyebabkan kelaparan massal dan suhu dingin ekstrem.

Pemenang Nobel Perdamaian 1985, dokter Rusia terkemuka Evgeny Chazovs juga secara khusus menyebutkan dukungannya untuk teori musim dingin panjang yang disebabkan oleh nuklir.

Kepanikan yang timbul dari mitos itu dianggap memberikan bantuan besar terhadap propaganda Uni Soviet terhadap Barat.

"Semua orang dari Paus Vatikan hingga Campaign for Nuclear Disarmament kemudian meminta NATO untuk memikirkan kembali strategi nuklir mereka karena kekhawatiran akan musim dingin nuklir global," lanjut buku Darwall tentang Uni Soviet itu.

Di Tengah Skandal 'Russian Meddling'

Robert Mueller, Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum dan Kehakiman AS yang menangani dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 (AP)
Robert Mueller, Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum dan Kehakiman AS yang menangani dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 (AP)

Informasi itu mencuat saat pemerintah Amerika Serikat menuduh Rusia sebagai negara yang secara aktif menyebarkan berita palsu dan disinformasi sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Moskow -- untuk membuat Negeri Beruang Merah tampak lebih stabil secara politis dari pada para pesaingnya.

Moskow telah berulang kali menolak kritik semacam itu, termasuk tuduhan bahwa hal itu terjadi di balik banjir berita palsu yang bertujuan memengaruhi pemilihan presiden AS 2016.

Sementara itu, informasi tersebut juga datang setelah Pengadilan Federal AS di Washington DC, pada Jumat, 16 Februari, mendakwa 13 warga negara Rusia pegawai firma internet terafiliasi Moskow yang terlibat dalam skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 yang berujung pada kemenangan Donald Trump sebagai presiden -- populer disebut dengan "Russian Meddling".

Dakwaan itu merupakan hasil dari investigasi berbulan-bulan yang dilakukan oleh Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum AS yang menangani skandal Russian Meddling, Special Counsel Robert Mueller.

Tiga belas karyawan Internet Research Agency, sebuah perusahaan yang bermarkas di Kota Saint Petersburg, Rusia, dituduh melakukan operasi untuk memengaruhi jajak pendapat di dunia maya demi kepentingan Moskow.

Gugatan itu juga menyatakan bahwa Internet Research Agency adalah jaringan propaganda Kremlin. Mereka disinyalir telah ikut campur dalam pemilihan presiden AS tahun 2016.

Pemerintah AS mengklaim, entitas Rusia mulai mencampuri proses politik negaranya pada awal 2014, menurut sebuah dokumen pengadilan.

Beberapa terdakwa, menyamar sebagai warga negara Amerika Serikat dan berkomunikasi dengan warganet lainnya, tanpa mereka sadari bahwa perbincangan itu menjurus ke kampanye Donald Trump dan aktivis politik lainnya. Demikian dakwaan untuk mereka.

"Tujuannya adalah mendorong terjadinya perselisihan di AS guna melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi," ujar Wakil Jaksa Agung, Rod Rosenstein, seperti dikutip dari The Independent, Sabtu 17 Februari.

Rosenstein menambahkan, tuduhan itu meliputi persekongkolan, kecurangan di dunia maya, pemalsuan akun bank dan pemalsuan identitas.

Dakwaan-dakwaan tersebut, yang menjadi sebuah gebrakan besar bagi kinerja Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum AS yang menangani skandal Russian Meddling, Special Counsel Robert Mueller, diumumkan oleh kantornya pada Jumat sore, 16 Februari 2018, waktu setempat.

Penyelidikan Mueller terhadap campur tangan Rusia dalam pemilu Amerika Serikat telah menggugat mantan tim kampanye Donald Trump, Paul Manafort dan mitranya Rick Gates.

Sedangkan mantan penasihat keamanan nasional Michael Flynn dan mantan penasihat kebijakan luar negeri tim kampanye Donald Trump, George Papadopoulous, telah mengaku bersalah kepada FBI tentang komunikasi yang mereka lakukan dengan beberapa pejabat Rusia ketika masa kampanye dan transisi pemerintahan AS.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya